Minggu, 30 Oktober 2016

tulisan tentang desa selat baru dan penelitian secara kualitatif



PERPADUAN ASPEK SOSIAL-BUDAYA MELAYU DAN JAWA PADA KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
(Studi kasus pada Masyarakat NelayanTradisional di Desa Selat baru, parit satu)
Irawan fakhrudin Mahali Zikri SE.MM
(SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARIAH BENGKALIS)
Abstrak
Boeke probably not the first to fully conduct studies on dimensisosial-culture in economic activity in rural communities tradisionali refer to as "community pre-capitalist" however, Boeke least to the author that brought us that how many and which various studies on economic, status, role, and meaning traditional village almost seriously neglected, and always placed as an "object" and not as "subjects". On the other hand, although in years past, studies sociological and anthropological have devoted much attention to the sosial life -economic archipelago, but only few who can focus studied on the patterns and practices of the economy which is managed and led by " natives "with other forms of relations and economic networks that are" internal ". In general, the pressure of their studies many put on intermediary Europeans than natives itself, as studies ever done by Geertz (1963), and Burger (1980) In this context, we need to give high appreciation of the work-clasik of Van Leur ( 1967) and Schrieke (1955-1957), because the two of these studies who pioneered socio economic by trying to put out based on the meaning important people Asians (Indonesia) in activity, channel, and the network economy (trade) world.if unfortunately , these studies mostly done in the days of pre-colonial and colonial.Study-study of the most important relationships and economic networks (trade) "local and regional" basically been started by Dewey in his "Preasant Marketing in Java" (1962) and Geertz through his work "Peddlers and Princes" (1963). Both works ilmiahtersebut tries to connect the activities of traders and the general economic situation entrepreneurs with in a society that is changing and extensively out lining its association with socio-cultural context of economic event concerned.Every lack of studies on aspects of socio-cultural in aktivity economic in this traditional rural communities also occur in people ditch the village a new stream, particularly among the traditional villages in the coastal areas in Riau. Of the existing literature, these studies focus for  many people's lives "of traditional fishermen in coastal regions" (traditional peasant society), as wherewith done by Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989), Touwen-Bouwsma (1989a), Smith (1989) with a focus on social and economic life. While studies DeJonge (1977), Bouvier (1987) focuses on the study of life social cultural, or a number of other studies of Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b) on the socio-political aspects in the life people Madura; as well as with regard to religious life (Islam), whether committed olehde Jonge (1989a), Kuntowijoyo (1989) and Akhmad Khusyairi (1989). Mean while research on the background of people's lives shores relatively little, it was not completely regarding the activities of the fishermen in the field of marine fisheries, where as although agriculture and gardener can be eye-main livelihood for most residents of Bengkalis islands, but marine fisheries besides having important meaning in the construction economy the local community, also used as a kind of "complementary" due to land in the islands on the island of Bengkalis and in accordance with studid Jonge (1989c), which states that in a statistical activity perekonomianmasyarakat coastal sector of marine fisheries is a sector of the economy the most important, after the agricultural sector and other research highly relevant to this study. From the studies that have been done in a number of papers as well as existing research as in other research Madura society there are about 8% of the principal livelihood as a fisherman. The amount will be greater if value with nearly equal numbers of those who make a living fishing occupation in time basis. An amount, estimated at nearly a quarter of every fishermen in Java and Madura. Other researchers, such as Munir (1985) and Djojomartono (1985) focuses on the study of traditional rites surrounding death and birth of comunity Madurese fishermen. Study de Jonge, Munir and the Djojomartono, has provided an overview evan social activities, cultural, and economic background shores life comunity Madura. De Jong Studies have shown, although, how the economic activity of society (traditional or modern) can be combain a reasons sociological and cultural, in addition to economic factors own. It has also been shown by a number of other studies of Geertz (1956; 1963), Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim (1959), Koentjaraningrat (1969, 1985), as well as Castles (1982), about a wide range of economic activity , On this basis, the authors conducted a literature and field research focused on the study tentang 
UNITY MALAY SOCIO-CULTURAL ASPECTS AND JAVA IN ECONOMIC LIFE OF TRADITIONAL FISHING COMMUNITIES
(Case Study on Rural Community fishing tradisional in the Desa selat  baru, parit satu)
The study was conducted in a fishing  tradisiona in desa selatbaru parit satu , dusub pantai indah ,parit satu situated in the northern coastal region bordering the Malacca Strait, about 20 Km west of the town bengkalis on the island of Bengkalis or rather ± a four hour drive from the city of the new week. The study was conducted for one month with approach qualitative and literature studies.


Keyword;Unity,Melayu,Jawa cultural,Tradisional Economic,Fhising And Fhiserman communities






























Pendahuluan
      Boeke mungkin bukanlah orang pertama yang secara utuh mengadakan kajian tentang dimensi sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian masyarakat desa tradisional ia menyebut sebagai "masyarakat prakapitalis" namun, Boekelah setidak-tidaknya bagi penulis yang menyadarkan kepada kita bahwa betapa banyak serta  dalamnya  berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran dan arti desa tradisional hampir-hampir sangat terabaikan, dan senantiasa ditempatkan sebagai"obyek", bukan sebagai "subyek". Di sisi lain, walaupun dalam tahun-tahun yang lampau, studi-studi sosiologis dan antropologis telah banyak mencurahkan perhatian pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nusantara, namun hanya sedikit sekali yang memfokuskan kajiannya pada pola-pola dan praktek-praktek ekonomi yang dikelola dan dipimpin oleh"penduduk pribumi" dengan bentuk-bentuk relasi dan jaringan ekonomi yang bersifat "internal". Pada umumnya, tekanan kajian mereka banyak diletakkan pada peranan orang-orang Eropa daripada penduduk pribumi sendiri, sebagaimana studi yang pernah dilakukan oleh Geertz (1963), dan Burger (1980) Dalam konteks ini, kita perlu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya-karya klasik dari Van Leur (1967) dan Schrieke (1955-1957), karena kedua orang inilah yang mempelopori kajian-kajian sosial-ekonomi dengan mencoba menempatkan dengan berpedoman pada arti penting orang-orang Asia (Indonesia) dalam aktivitas,saluran,dan jaringan ekonomi (perdagangan) dunia. Hanya sayangnya, studi-studi tersebut banyak dilakukan pada masa-masa pra-kolonial dan kolonial. Studi-studi terpenting mengenai relasi dan jaringan ekonomi (perdagangan) "setempat dan regional" pada dasarnya telah dimulai oleh Dewey dalam karyanya "Preasant Marketing in Java" (1962) dan Geertz melalui karyanya "Peddlers and Princes" (1963). Kedua karya ilmiah tersebut mencoba menghubungkan aktivitas-aktivitas para pedagang dan para wiraswastawan dengan keadaan ekonomi umum di dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah dan secara luas menguraikan keterkaitannya dengan konteks sosial-budaya dari peristiwa ekonomi yang bersangkutan. Sangat kurangnya studi-studi tentang aspek-aspek sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian dalam masyarakat desa tradisional ini pun terjadi pada masyarakat parit satu desa sela baru, terutama di kalangan masyarakat desa tradisional di daerah-daerah pesisir di riau. Dari kepustakaan yang ada, penelitian-penelitian ini banyak difokuskan pada kehidupan masyarakat "nelayan tradisional di daerah pesisir" (traditional peasant society), seperti yang telah dilakukan oleh Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989), Touwen-Bouwsma(1989a), Smith (1989) dengan fokus tentang kehidupan sosial-ekonomi. Sementara studi de Jonge (1977), Bouvier (1987) memfokuskan diri pada studi tentang kehidupan sosial budayanya, atau sejumlah studi lain dari Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b) terhadap aspek sosial-politik dalam kehidupan masyarakat Madura; serta yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan (Islam), baik yang dilakukan oleh de Jonge (1989a), Kuntowijoyo (1989) dan Akhmad Khusyairi (1989). Sementara itu penelitian-penelitian pada latar kehidupan masyarakat pesisiran relatif sedikit, itu pun tidak sepenuhnya berkenaan dengan aktivitas para nelayan di bidang perikanan laut, padahal walaupun pertanian dan perkebunan merupakan mata-pencaharian utama bagi sebagian terbesar penduduk Pulau Bengkalis, namun perikanan laut selain memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, juga dijadikan semacam "komplementer" akibat kondisi tanah di daerah kepulauan di pulau bengkalis dan sesuai dengan studi de Jonge (1989c), yang menyatakan bahwa secara statistikal aktivitas perekonomian masyarakat pesisir di sektor perikanan laut merupakan sektor ekonomi terpenting ,setelah sektor pertanian dan penelitian lainnya yang sangat relevan dengan studi ini. Dari studi yang telah dilakukan pada sejumlah karya tulis maupun penelitian yang ada seperti pada peneltian masyarakat madura terdapat sekitar 8% yang bermata pencaharian pokok sebagai nelayan. Jumlah tersebut akan lebih besar bila ditambah dengan jumlah yang hampir sama dari mereka yang menjadikan nelayan sebagai mata-pencaharian sambilan. Suatu jumlah, yang diperkirakan hampir seperempat dari seluruh nelayan yang ada di Jawa dan Madura. Peneliti lain, seperti Munir (1985) dan Djojomartono (1985) memfokuskan diri pada studi tentang ritus kematian dan adat sekitar kelahiran pada masyarakat nelayan Madura.
     Studi de Jonge, Munir dan Djojomartono tersebut, telah memberikan gambaran  walaupun tidak utuh tentang berbagai aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dalam latar kehidupan masyarakat pesisiran Madura. Studi de Jong tersebut telah menunjukkan, meskipun tidak seluruhnya, betapa aktivitas perekonomian masyarakat (tradisional ataupun modern) dapat dihubungkan dengan alasan-alasan sosiologis dan kultural, di samping faktor-faktor ekonomi
sendiri. Hal itu juga telah ditunjukkan oleh sejumlah studi lain dari Geertz (1956; 1963),Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim (1959), Koentjaraningrat (1969; 1985), serta Castles(1982), tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian literatur dan studi lapangan yang difokuskan pada kajian tentang PERPADUAN ASPEK SOSIAL-BUDAYA MELAYU DAN JAWA PADA KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
(Studi kasus pada Masyarakat NelayanTradisional di Desa Selat baru, parit satu)
Penelitian dilakukan di sebuah desa nelayan tradisional di Desa Selat baru, dusun pantai indah parit satuyang terletak di daerah pesisir utara berbatasan dengan  selat Malaka, sekitar 20 Km sebelah barat kota bengkalis di pulau bengkalis atau tepatnya ± empat jam perjalanan dari kota Pekan baru. Penelitian dilakukan selama satu bulan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan studi literatur.

Hasil dan Pebahasan
Struktur Ekonomi "Desa Tradisional"
     Dalam sebuah "a little book" berjudul "The Interest of the Voiceless Far East: Introduction to Oriental Economics", yang diterbitkan di Leiden pada tahun 1948—versi Indonesia tahun 1983, Boeke menyadarkan kepada kita bahwa dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran, dan arti desa tradisional hampir-hampir terabaikan, kalaupun disinggung, sejauh desa tradisional itu mulai terlibat atau terkait dalam permasalahan perekonomian kota.
     Desa tradisional senantiasa hanya dijadikan "obyek" atau dalam posisi tersubordinasi oleh kota, padahal, menurut Boeke, bagi masyarakat negara berkembang (developing countries) yang berbasis pada sektor pertanian-agraris, desa tradisional memiliki kedudukan dan telah memainkan arti penting bagi masyarakatnya di dalam memenuhi berbagai kebutuhan ekonomis mereka, bahkan, meskipun pada medio abad 20-an gerakan ekonomi perkotaan telah mulai menembus tembok kehidupan ekonomi pedesaan, ternyata desa tradisional tetap mampu mempertahankan prinsip-prinsip, pandangan-pandangan "ekonomi pedesaan" nya atas dasar kekuatan-kekuatan internal yang dimiliki, yaitu "ekonomi swasembada", yang oleh
Boeke diistilahkan sebagai "ekonomi prakapitalis" (pracapitalism economy).
     Atas dasar prinsip keswasembadaan ini pulalah, ketika berbagai krisis yang melanda berbagai sektor ekonomi perkotaan (produksi, perdagangan, perniagaan, dan lain-lain) ternyata kehidupan perekonomian di desa tradisional seakan tidak begitu terpengaruh, dan tetap bergerak sesuai dinamikanya sendiri. Menurut Boeke (1983), desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara ekonomi "berdaulat", "mandiri". Desa tradisional juga merupakan sebuah "unit produksi" bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa,bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan "kewajiban sosial dan ekonomis" mereka atas perlindungan dan kepemimpinan yang diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha Kuasa.Pendek kata, setiap aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etnis dan tradisional.      
     Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar "prinsip swasembada", dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented).
     Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip" hemat, ingat, dan istirahat (Boeke, 1983: 22). Kehidupan sosial masyarakat desa tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka. (de Jong, 1989), tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap "tertutup", serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur secara organis, tunduk serta menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakatnya, alam dan Sang Pencipta. Mereka emosional, dengan kemampuan intelektual yang ""kurang berkembang", kurang disiplin dan kurang memiliki rasa ketepatan dan penghargaan terhadap waktu (Boeke, 1983).
     Adanya pemikiran, sikap dan tindakan di atas, erat kaitannya dengan "sistem nilai budaya dan sikap" yang mereka anut dan patuhi serta merta sebagai "faktor-faktor mental" (Koentjaraningrat, 1985) yang mempengaruhi pemikiran, sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan kesehariannya maupun dalam hal membuat keputusan-keputusan penting lainnya. Ia merupakan suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, sekaligus juga apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam kehidupan mereka.
     Realitas ini dapat dilihat dari bagaimana pemikiran, sikap dan tindakan mereka terhadap aktivitas ekonomi, kalaupun itu ada, sebagaimana dikatakan oleh Boeke di atas, masyarakat desa tradisional mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara otonom dan swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian yang semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu didasarkan pada motif-motif murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar dan laba (non profit oriented). Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak lain dipandang sebagai "sarana pengabdian" terhadap kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan; atau hanya sebatas sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup.
     Dengan kata lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa dikuasai atau berada di dalam "konteks tradisi". Sebagai sebuah pengabdian dan alat untuk mempertahankan hidup, maka bagi masyarakat desa tradisional bekerja bukanlah suatu "kejahatan yang terpaksa dilakukan, karena itu sedapat mungkin dijauhi dan dibatasi" (Boeke, 1983). Bagi mereka, bekerja ataupun aktivitas ekonomi lainnya memang sebagai sesuatu yang harus diterima, tetapi ia harus dilakukan dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh kerja keras dan sedapat mungkin tanpa bantuan orang lain, sehingga bernilai tinggi di mata masyarakat. Bekerja keras adalah milik masyarakat desa tradisional, oleh karenanya tidak perlu "sistem perangsang" sebagaimana dikonsepsikan oleh Hoselitz; walaupun dengan cara dan irama kerja yang masih perlu didisiplinkan dan diselaraskan dengan perkembangan teknologi modern, sehingga dapat memberikan hasil yang seefektif mungkin (Koentjaraningrat, 1983; 1985).
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Nelayan Tradisional Desa selat baru parit satu dusun pantai indah
     Desa Selatbaru adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan bantan kabupaten bengkalis provinsi Riau indonesia. Daerah ini merupakan pusat dari pemerintahan kecamatan bantan, desa ini terlatak disebelah utara pulau bengkalis. Desa ini terkenal dengan ciri khasnya bibir pantai yang landai ,melebar jauh ketepi bibir  laut ± 500 meter pada saat air laut surut,yakni tepatnya di Dusun pantai indah parit satu. Desa selatbaru memiliki luas wilayah 2300 Ha, luas pemukiman ± 168 Ha, perkebunan ± 1170, hutan Mangrov ± 962 Ha. Desa selatbaru berbatasan dengan :
Utara Berbatasan dengan Selat malaka
Selatan Berbatasan dengan desa resam lapis
Barat berbatasan dengan Desa Deluk
Timur berbatasan dengan Desa Berancah
Radius Desa selat baru kecamatan bantan kabupaten bengkalis
Ibu kota provinsi ± 220 km
Ibu kota kabupaten ±18 km
Ibu kuta kecamatan ± 1 km
     Yang lebih mengharukan karena desa selatbaru berbatasan dengan selat malaka sehingga di desa tersebut terdapat satu pelabuhan laut untuk penumpang international dengan nama Bandar Sri Setia Raja. Desa Selatbaru khususnya dusun pantai Indah (Parit Satu)  merupakan sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang memiliki matapencaharian tetap. Selain itu, jumlah para nelayan ± 185 kk dan beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan aktivitas perekonomian mereka secara "swasembada", yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
     Desa Selatbaru ini terbagi menjadi 5 (lima) Dusun (kampong), yaitu: Dusun beringin, Dusun beringin laut ,Dusun  penawar laut, Dusun Mekar indah ,Dusun Pantai indah adalah kampung-kampung yang letaknya di dekat laut/pesisiran, sedangkan Tiga kampung lainnya (Dusun beringin, Dusun beringin Baru, dan Dusun mekar indah ) terletak agak jauh dari pesisiran dan berada di tengah pulau yang dikelilingi oleh sungai. Jumlah penduduk secara keseluruhan + 4.000 orang, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak + 990 orang data pada tahun 2014.
     Pusat pemerintahan (Kantor Kepala Desa) terletak di kampung dusun beringin (di tengah jalan poros yang menghubungkan  jalan desa yang ada di kecamatan bantan dan Desa selat baru merupakan desa yang menjadi pusat ibu kota kecamatan ). Pada umumnya desa selat baru dibagi menjadi lima wilayah yang memiliki potensi yang berbeda-beda dengan kondisi tanahnya tidaklah subur semua wilayah, bahkan cenderung agak keras serta aktivitas pertanian dapat dikatakan tidak berkembang atau tidak diusahakan oleh penduduk setempat.      
     Hal ini berbeda dengan penduduk yang berada di dusun pantai indah potensi yang ada, dalam kondisi geologis seperti itu, matapencaharian pokok masyarakat yang berada di Dusun Pantai indah pesisir, adalah sebagai nelayan, serta hanya sebagian kecil di antaranya bermata pencaharian sebagai penjual bahan-bahan kebutuhan keseharian masyarakat (Kedai runcit), pegawai negeri, dan kelompok home industri serta usaha perkebunan. namun secara ekonomis kehidupan mereka tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat terbelakang dan miskin, bahkan, dari hasil penangkapan ikan di laut itu, sebagian besar dari mereka memiliki rumah tembok, fasilitas rumah tangga "modern dan canggih", untuk ukuran "masyarakat tradisional" (traditional peasant societies). Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan lain di Pulau bengkalis , rumah-rumah penduduk setempat cukup padat, berjejal, tidak menganut pola penataan rumah seperti dalam masyarakat petani pedalaman, serta mengesankan sebuah "pemukiman kumuh".
     Pada umumnya rumah-rumah mereka menghadap ke laut, kecuali rumah-rumah di ketiga kampung didesa selat baru yang berada tepat di pinggir laut menghadap ke utara. Jalan-jalan di perkampungan sangat sempit dan berkelok-kelok, sehingga apabila berpapasan salah satu harus mengalah namun, apabila diperhatikan, sulit dibayangkan bahwa daerah itu adalah daerah nelayan, dengan mata-pencaharian "satu-satunya" adalah menangkap ikan di laut. Kondisi rumah-rumah mereka yang berderet dari Timur ke Barat sepanjang 500 meter sebelah utara dan selatan jalan lingkar yang membelah pulau ini, tidak begitu jauh berbeda dengan rumah-rumah pemukiman orang-orang kota.
     Deretan bangunan rumah pemukiman penduduk di desa selat baru parit satu  itu ibarat sebuah "kota kecil di tepi pantai" (a little state in the coast), lengkap dengan berbagai aksesoris peralatan rumah tangga "modern", berselang-seling dengan rumah- rumah desa khas penduduk kampung nelayan, baik yang terbuat dari bambu,rumbia, maupun kayu, juga berbagai perabot rumah tangga khas masyarakat nelayan. Sungguh merupakan sebuah mozaik desa yang sangat mencengangkan. Sebagai daerah pemukiman cukup padat, upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya, tampaknya dapat dipenuhi sendiri dari berbagai fasilitas warung atau pertokoan yang ada di desanya; kecuali sebagian kebutuhan sandang dan papan yang tidak terdapat di desanya atau terdapat kekurangan, mereka membeli di kota Kabupaten (Bengkalis).
     Di sisi lain, perhatian dan tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan anak-anaknya sangat kurang. Anak-anak mereka terutama yang perempuan, pada umumnya hanya bersekolah hingga jenjang SMP walapun yang ada yang tamat SMA, itupun tidak seluruhnya tamat, terutama karena alasan akan "dikawinkan". Kepedulian masyarakat setempat terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan anak-anak mereka, mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Anak-anak mereka, laki-laki dan atau perempuan, telah mulai ada yang disekolahkan hingga jenjang perguruan tinggi.Walaupun dengan tingkat persentase yang tidak terlalu tinggi.

 



Sistem Penangkapan Ikan di Laut
    Bagi masyarakat nelayan di Dusun pantai indah,sistem jaring (jaring lepas, jaring lingkar, dan jaring Kurau serta memancing pada spot tempat mancing) merupakan sistem penangkapan utama atau umum diterapkan di dalam menangkap ikan di laut, disamping sistem pancing. Ada tiga jenis jaring  yang biasa digunakan untuk keperluan penangkapan ikan di laut, yaitu: (1) jaring lepas (sethet); (2) jaring lingkar (sleret); dan (3) jaring kurau atau pun jaring halus. Di antara tiga jenis sistem penangkapan ikan dengan menggunakan sisem jaring di atas, yang hingga kini tetap bertahan dan masih banyak digunakan oleh nelayan tradisional di desa selatbaru adalah dengan jenis jaring lingkar (sleret), rakat, dan jaring kurau atau jaring halus; sedangkan jaring lepas (sethet) kini hanya sebagian kecil nelayan yang menggunakannya. Hal ini, mengingat bahwa penggunaan ketiga jenis jaring tadi secara ekonomis lebih menguntungkan. Berbagai jenis perahu yang digunakan para nelayan desa selatbaru untuk menangkap ikan yang ada sekarang, terdiri dari jenis yang paling besar hingga yang terkecil, yaitu: kapal kayu,pompong dan fiber ( bantuan hibah dari pemerintah).
Organisasi dan Pola Relasi Kerjasama Antar-Nelayan
     Kehidupan para nelayan Desa selatbaru khususnya dudun pantai indah parit satu bukanlah bersifat individual, tetapi berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari: (1) juragan pemilik kapal/perahu; (2) juragan kepala perahu; (3) pekerje. Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan pekerje, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara "atasan" dan "bawahan" yang bersifat "hubungan pengabdian", tetapi lebih bersifat "kolegialisme" dan "kekeluargaan", sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas "kesertaan secara sukarela", tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan "cara membeli". Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
     Organisasi dan hubungan kerjasama di antara jraghan praho/kapal, jraghan kepala dan awak perahu/kapal di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan
ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat "kekeluargaan" juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu (pekerje) dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus menunggu habisnya satu musim, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.
     Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal, juragan dan awak perahu tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus untuk seorang juragan kepala, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab dia sebagai "pemegang komando" dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman di bidang penangkapan ikan di laut serta luasnya hubungan dan komunikasi dengan berbagai kelompok nelayan yang ada di daerah itu atau di luar desa selatbaru.
     Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara: (1) sukarela; dan (2) membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi anggota kelompok nelayan.
Sistem Pembagian Hasil Ikan
     Dalam kaitan bisnis penangkapan ikan di desa selat baru, seorang pemilik perahu/kapal tidak menentukan "target minimal" yang harus dipenuhi atau dicapai oleh para juragan atu toke kepala atau awak kapal/perahunya berkenaan dengan hasil tangkapan ikannya. Kendatipun demikian, banyak atau sedikitnya hasil ikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem pembagian hasil ikan di antara juragan kapal/perahu, juragan kepala, pekerje, serta anggota nelayan lain yang termasuk anggota kelompok nelayan tersebut, dan/atau orang-orang lain yang terlibat dalam proses persiapan dan pelaksanaan operasi penangkapan ikan. Berapapun hasil perolehan ikan, sistem pembagian hasilnya tetap tidak berubah.
    Dalam masyarakat nelayan dusun pantai indah, dikenal dua sistem pembagian hasil ikan tangkapan yang didasarkan pada "jenis perahu yang digunakan" dan "jaring (alat penangkapan ikan) yang digunakan", yaitu apakah menggunakan jenis kapal/perahu besar (fiber dan pakesan besar); atau jenis kapal kecil (sampan/edher dan pompong kecil) juga apakah menggunakan alat berupa jaring atau pancing (khusus untuk jenis kapal kecil). Untuk jenis perahu besar (Fiber), sistem pembagian ikannya adalah 50% dari seluruh ikan hasil tangkapan adalah bagian pemilik perahu, sedangkan 50% sisanya untuk seluruh awak perahu. Namun, sejalan dengan semakin ketatnya persaingan di antara para juragan pemilik perahu, dewasa ini pemilik perahu hanya mendapat sekitar 1/3 bagian (atau 35%); sedangkan sekitar 2/3 (65%) bagian lainnya dibagi menjadi 20 bagian untuk seluruh awak kapal/perahu.   
    Apabila diperhatikan, dalam sistem pembagian ikan hasil tangkapan di atas, tampaknya juragan pemilik perahu umumnya tetap mendapatkan pembagian hasil ikan rata-rata lebih tinggi dari para awak kapal. Seperti pada sistem pembagian ikan pada jenis kapal sleret di atas, besarnya jumlah penerimaan dari seorang juragan pemilik perahu kecil dan sampan (edher) tersebut, memang sebanding dengan investasi yang telah dia keluarkan untuk pengadaan perahu, jaring, dan mesin. Selain itu, karena dalam hal terjadi kecelakaan atau kerusakan pada perahu, jaring, dan mesin, maka seluruh biaya perawatan, perbaikan atau bahkan penggantiannya yang baru sepenuhnya menjadi tanggungan dan atas modal dari juragan pemilik perahu tersebut. Hal ini berbeda pada kapal besar jenis sleret dan pakesan besar yang seluruh biaya perawatan, perbaikan dan/atau penggantian yang baru diambilkan dari uang perbaikan/perawatan yaitu sebesar 5% - 10% (sistem pembagian lama), atau sebesar 2.14% (sistem pembagian baru).
     Sementara itu, untuk jenis perahu kecil terbagi lagi menjadi dua sistem. Apabila menggunakan jaring sethet, maka sistem pembagiannya adalah 4-5 bagian untuk juragan pemilik perahu, sedangkan awak perahu masing-masing mendapatkan 1 bagian (jumlah awak perahu antara 4-6 orang), tokang nampo dan tokang jagha’an mendapatkan masing-masing ½ bagian, tokang koras (harfiah: "tukang menguras" air di dalam perahu di tengah laut ketika sedang melaut) tidak mendapatkan bagian tersendiri, tetapi memperoleh bagian dari hasil pemberian sekadarnya (sakadharra) atau atas dasar kerelaan dari para nelayan. Namun, apabila menggunakan jaring gondrong pembagiannya adalah: (1) juragan pemilik perahu antara 10% - 40%, tetapi oleh karena dia juga dapat merangkap sebagai tukang nampo, maka selain mendapatkan bagian yang telah ditetapkan di atas, juga masih memperoleh tambahan bagian lagi antara 5% - 20%, sehingga secara keseluruhan mendapatkan perolehan sebanyak 15% - 60%; (2) awak perahu mendapatkan bagian yang bervariasi, tergantung apakah jaringnya memperoleh hasil banyak, sedikit atau tidak. Namun, secara umum mereka dapat memperoleh total bagian bersih sebanyak 85% dari jumlah udang hasil pancingan mereka; (3) tokang nampo mendapatkan bagian yang diberikan oleh masing-masing anggota nelayan sebanyak 5%. Karena seluruh anggota nelayan berjumlah 1-4 orang, maka total bersih penerimaannya sebanyak 5% - 20%.
Pola Relasi dan Jaringan Penjualan Ikan
     Transaksi jual-beli ikan/udang nelayan di desa Selatbaru pada umumnya dilakukan di darat seperti dalam masyarakat nelayan di Pulau lainnya, tetapi kadang-kadang juga dilakukan di tengah laut. Aktivitas jual-beli tersebut terjadi antara (1) nelayan, juragan perahu,juragan kepala; (2) bakul ikan dijual ke konsumen (bakol); (3) dijual melalui pengecer. Jenis ikan yang ada seperti: tongkol/cakalang ± 48 ton/th, hiu  ±12 ton /th, kakap  ± 8 ton /th, tenggiri  ± 49 ton /th, pari  ± 2 ton /th ,balanak  ± 3 ton /th, cumi  ± 2 ton /th,sarden  ± 4 ton /th,bawal ± 2 ton /th, kembung  ± 4 ton /th, karapu/sunuk  ± 3 ton /th,bandeng ± 3 ton /th,kerang  ± 4 ton /th ,kepiting  ±1ton /th, lele  ± 5 ton /th, patin laut  ±0,5 ton /th Jadi dalam perkiraan pertahun  total nilai produksi ± Rp 753.500.000/th, dengan total nilai biaya bahan baku yang digunakan  ± Rp. 210.000.000 /th ditambah total nilai bahan penolong yang digunakan  ±Rp 3.400.000/th dan total nilai biaya yang habis  ±Rp 2.450.000 /th jadi nilai yang didapat diperkirakan sebesar  ±537.650.000 /th.
     Dalam aktivitas jual-beli tersebut, hasil ikan bagian masing-masing awak kapal dan juragan kepala, ada yang sebagian langsung dijual atau diserahkan kepada para bakul ikan yang datang ke tengah laut dengan menggunakan perahu, ada pula yang dibawa ke darat untuk dijual atau diserahkan kepada para bakul ikan yang ada di darat. Dalam banyak kasus di lapangan, hubungan jual-beli ikan antara para nelayan dan juragan kepala di satu pihak dengan para bakul ikan di lain pihak sering bersifat "mengikat", daripada atas dasar "sukarela". Hal ini terjadi, karena para nelayan dan juragan kepala tersebut secara rutin dan berkesinambungan mendapatkan "uang pengikat" dari para bakul ikan. Uang tersebut merupakan "uang muka" (pesse panjher) dari bakul ikan kepada para nelayan dan juragan kepala dari hasil penjualan ikan yang diterimakan kepada bakul ikan.
     Pemberian uang tersebut tujuannya tidak lain adalah agar para nelayan dan juragan kepala
tadi menyerahkan atau menjual ikan kepada si bakul ikan. Menjadi "kewajiban" atau "keharusan" bagi para nelayan dan juragan kepala penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau seluruh ikan-ikan yang menjadi bagiannya—sesuai dengan kesepakat-an—kepada bakul yang telah memberinya uang. Kebiasaan memberikan uang perangsang ini, dalam banyak hal telah menjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.
    Relasi dan praktik jual-beli yang demikian ini telah menjadi pola umum dalam hampir setiap relasi dan jaringan perdagangan ikan yang berlaku di kalangan nelayan tradisional di dusun pantai indah desa selat baru Pola jual-beli ikan dengan sistem "uang pengikat" (pesse panjher) tersebut memang tidak selalu merugikan pihak nelayan dan juragan kepala, walaupun sebenarnya uang yang dibayarkan—saat itu juga atau kemudian—oleh para bakul kepada mereka tidak pernah sama, bahkan lebih rendah dari harga jual riil ikan seandainya dijual langsung di pasar lokal. Artinya, para nelayan atau juragan kepala tersebut akan menerima uang hasil pembelian ikan dari bakul ‘senantiasa kurang’ dari harga jual ikan di pasaran. Sistem pemberian hasil penjualan "dibawah harga" tersebut berlaku umum atau sama untuk seluruh bakul. Dalam hal ini, tidak ada permainan harga jual antara bakul yang satu dengan bakul yang lain; sehingga jumlah uang yang diterima oleh para nelayan dan juragan kepala dari para bakul siapapun dia setiap orang adalah setara, tidak ada perbedaan.     
    Bagi bakul ikan sendiri, dengan adanya uang pengikat ini, selain dia dapat menjual harga sesuai dengan keadaan pasar dan jenis ikan yang dijual, dari hasil penjualan ikannya itu dia juga masih mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari selisih antara uang yang diberikan kepada para nelayan dan juragan kepala rekanannya dengan uang yang sebenarnya diperoleh dari hasil penjualan ikan tadi.
    Kecenderungan para nelayan dan juragan kepala untuk menjual ikan kepada bakul yang telah" mengikatnya dengan uang pengikat tadi, adalah lebih disebabkan pada pertimbangan kecepatan dan kemudahan menjual ikan serta memperoleh uang, atau hal-hal praktis lainnya daripada semata-mata pertimbangan bisnis-ekonomi yang berorientasi pada mencari untung sebesar-besarnya, sebab bagi para nelayan dan juragan kepala ada risiko yang akan diterima, apabila mereka menjual langsung ikan-ikan tersebut di pasar jalanan (pasar di pinggir jalan),
yaitu ada kemungkinan tidak laku, harga jual rendah/murah dan atau apabila mereka bawa ke
pasar di luar daerah mereka sendiri, misalnya ke pasar kota Pamekasan, selain masih harus mengeluarkan uang tambahan untuk transportasi juga belum dapat dipastikan dapat segera laku dengan cepat atau berharga tinggi. Bahkan, apabila ikan yang dijual sendiri tadi tidak laku, maka ikan-ikan tersebut harus dikeringka, yang tentunya harga jualnya akan lebih murah dibandingkan apabila dijual dalam bentuk "ikan basah", di samping perlu uang ekstra untuk biaya pengeringan, serta tenaga. Hal lain yang menjadi daya tarik dari para nelayan dan juragan kepala melakukan praktik bisnis semacam itu, adalah karena mereka akan mendapatkan fasilitas tambahan dari para bakul ikan, yaitu kemudahan untuk mendapatkan hutang (otang) atau pinjaman uang dari para bakul rekanannya; apakah untuk keperluan modal usaha rumah tangga (Runcit, dll) atau pun untuk keperluan keluarga yang lain, yang bagi mereka mungkin tidaklah mudah diperoleh dari orang lain, selain itu bunganya pun tidaklah terlalu tinggi (maksimal  ± 3% perbulan).
    Para nelayan itu pun secara rutin masih mendapatkan barangbarang lain seperti rokok (ketika dia istirahat, atau tidak melaut), atau ketika menjelang lebaran mereka kembali mendapatkan "sesuatu" dari para bakul rekanan bisnisnya seperti: pakaian, kopiah, sarung, sandal atau barang-barang kebutuhan lebaran lain untuk keluarga mereka. Praktik jual-beli di atas, senantiasa dipelihara dan semakin diperkuat; dan dalam hal-hal demikian itu telah menimbulkan hubungan jual-beli yang bersifat "patron-client" (hubungan pelindung-klien) di antara mereka, walaupun hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa pola relasi tersebut hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, walaupun bukan merupakan gejala umum seperti halnya hubungan jual-beli antara nelayan dan bakul seperti di atas, pola jual-beli ikan dengan sistem "uang pengikat" juga terjadi antara para tengkulak ikan yang memberikan uang perangsang dengan para bakul ikan, tetapi pada umumnya di antara mereka terdapat hubungan jual-beli yang relatif bebas sehingga setiap tengkulak dapat menguhungi setiap bakul untuk mendapatkan berbagai jenis ikan yang dibutuhkan atau diminati oleh para pembeli di pasar asal mereka sementara para bakul ikan itu dapat pula secara bebas menjual ikan-ikannya kepada setiap tengkulak sesuai dengan harga pasaran atau harga yang lebih tinggi dari harga penawaran tengkulak yang lain.
    Selain sebab-sebab di atas, terjadinya praktik jual-beli ikan dengan sistem "uang pengikat"
juga disebabkan oleh kurang berfungsinya dan belum adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada, padahal pembangunan TPI tersebut pada awalnya merupakan inisiatif pemerintah—dalam hal ini Dinas Perikanan—untuk memudahkan dan memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi para nelayan, juragan kepala, dan juragan perahu..
Kepemimpinan Ekonomi dan Pengembangan Struktur Ekonomi Lokal
    Berbeda dengan relasi jaringan perdagangan komoditas lokal di daerah lain seperti karet, sawit, atau ikan teri (bilis),blacan, dan nener (bibit ikan bandeng) yang pada umumnya melibatkan para pelaku ekonomi berskala besar dan lintaslokal, pengembangan ekonomi lokal desa, sebagaimana umumnya struktur ekonomi desa, dibangun dan didukung oleh pola-pola kepemimpinan ekonomi yang juga bersifat "lokal", serta "pemupukan modal" yang sebenarnya bukan sebagai bentuk investasi dalam pengertian teori ekonomi.
    Kepemilikan modal dalam perdagangan ikan di desa ini tidak terlalu besar, bahkan tidak sedikit dari para bakul baki yang berperan sebagai "pedagang pemasok dan perantara" dalam aktivitas penjualan ikan hasil tangkapan nelayan kepada para tengkulak ikan hanya atas dasar prinsip "kepercayaan" (saleng parcaye), yaitu pada kemampuan atau keahlian mereka untuk meyakinkan para pemilik ikan agar menyerahkan atau menjual ikan kepada dirinya. Selain itu, dalam aktivitas perdagangan ikan di desa juga terdapat sejumlah pedagang besar dari luar yang disebut tauke yaitu pelanggan tetap bermodal besar, memiliki gudang atau pabrik pengolahan ikan, serta memiliki jaringan perdagangan di tingkat regional atau ekpor, akan tetapi sekarang ini mereka sudah tidak diperkenankan lagi untuk memborong ikan-ikan hasil tangkapan nelayan setempat. Hal ini, dimaksudkan selain agar tidak terjadi spekulasi harga jual-beli ikan yang dianggap dapat merugikan nelayan, juga agar keuntungan tetap berada di pihak masyarakat desa itu sendiri. Untuk mencapai maksud itu, maka ikan-ikan tersebut diborong (ebhurung) oleh Kepala Desa, dan dari tangan Kepala Desa inilah para pedagang lokal (bakul) serta para tengkulak ikan yang berasal dari luar desa membeli ikan sesuai dengan harga yang berlaku di pasar lokal. Dengan demikian, para pelaku ekonomi utama dalam aktivitas perdagangan ikan di desa tetap berada di tangan masyarakat setempat, yaitu juragan pemilik perahu, para bakul baki, dan tengkulak.
    Juragan pemilik perahu/kapal merupakan pelaku terpenting dalam aktivitas perekonomian desa dalam masyarakat nelayan pesisir pulau. Keberadaan kepemilikan kapal/perahu serta modal yang dimiliki merupakan penggerak utama dalam aktivitas penangkapan ikan dan perdagangan. Dengan jumlah armada kapal perahu yang dimiliki (antara 1-4 buah), seorang juragan pemilik perahu mampu mempekerjakan nelayan antara 20 – 25 orang untuk satu kapal fiber, antara 14 – 18 orang untuk perahu jenis  pompong besar, dan antara 4-6 orang untuk perahu kecil jenis pakesan kecil dan sampan (edher). Secara fungsional, para juragan pemilik kapal/perahu ini telah mampu mengoptimalkan keberadaan sumber daya manusia setempat, dengan merekrut penduduk setempat antara 4-25 orang untuk tiga unit kapal/perahu sebagai tenaga-tenaga kerja efektif. Selain itu, dia juga telah melibatkan para penduduk setempat dalam suatu aliansi ekonomis di tingkat lokal untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di laut lokal dan regional, sehingga secara ekonomis mereka mempunyai kesempatan memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis dari hasil pembagian ikan yang menjadi haknya bagi pemenuhan kebutuhan hidup keseharian, perumahan, dan alat-alat pemuas kebutuhan "modern" lainnya. Sekalipun posisi seorang juragan perahu bermakna penting bagi kehidupan seorang nelayan di desa ini, namun dia tidak memiliki dan tidak berkehendak untuk melakukan penguasaan yang bersifat monopoli terhadap para juragan kepala atau anggota nelayan.
     Bakul baki ikan yang menjadi "pemulung" bertindak sebagai pelaku ekonomi kedua dalam
aktivitas jual-beli ikan di tingkat lokal. Bahkan, adanya kecenderungan masyarakat nelayan setempat untuk menyerahkan atau menjual sebagian terbesar ikan kepada mereka, menyebabkan para bakul ikan menjadi mata rantai terpenting dalam seluruh aktivitas perdagangan ikan di desa selatbaru. Dalam konteks yang sifatnya lebih terbatas, kuatnya relasi bisnis antara nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul ikan, yang dalam banyak hal menyerupai "patron-client relationship", telah menjadikan keberadaan dan peran para bakul baki ikan ini sebagai "…stand guard over the crucial junctures or synapsis of relationships which connect the local system to the larger whole" (Wolf, dalam de Jong, 1989). Adanya hubungan "patron-clien" dalam relasi bisnis antara nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul baki ikan ini, memang memungkinkan tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam penjualan ikan, walaupun ada risiko terhadap kemungkinan terjadinya perolehan pendapatan yang relatif lebih rendah dari pendapatan yang mungkin bisa diperoleh apabila mereka memperdagangkannya langsung di pasar jalanan setempat atau ke pasar-pasar lokal di luar daerah, sebab dengan adanya bakul ikan sebagai "patron", para nelayan/juragan kepala dan nelayan dapat menjual ikannya serta memperoleh uang dengan cepat tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan lagi, kendati dengan cara itu mereka akan memperoleh harga yang terkadang di bawah harga pasar, karena sifatnya yang sangat fluktuatif.
     Tengkulak ikan adalah pelaku ekonomi ketiga dalam aktivitas ekonomi dalam masyarakat didesa Selatbaru. Sungguhpun para tengkulak ikan ini hampir dapat dikatakan tidak memiliki
relasi dagang secara langsung dengan juragan kepala dan nelayan setempat, namun keberadaan dan perannya sebagai pembeli dan sekaligus sebagai pemasar ikan setempat ke berbagai pasar lokal di luar daerah Selatbaru, telah memungkinkan ikan-ikan hasil para nelayan setempat dikenal spesifikasinya di seluruh daerah Pulau ini dan S.Pakning. Nama "toke’ laok" (ikan dari selatan) yang diberikan oleh para pembeli luar terhadap ikan hasil tangkapan nelayan desa selatbaru yang mereka temukan di sejumlah pasar lokal di luar pulau, tidak terlepas dari peran dan arti penting seorang tengkulak dalam matarantai perdagangan ikan dari daerah ini. Selain itu, banyaknya peminat ikan desa selatbaru telah mampu meminimalisasi adanya surplus ikan di pasaran setempat, sehingga sirkulasi ikan setempat menjadi lebih lancar. Hal ini, mengakibatkan pendapatan para bakul baki  ikan, termasuk pula para juragan kepala dan nelayan, secara ekonomis menjadi lebih pasti dan berpengharapan.
     Dari uraian di atas, terlihat bahwa pola kepemimpinan ekonomi di daerah Bantan tersebut, walaupun pada sebagiannya ada yang bersifat "patron-client relationship", namun secara umum lebih bersifat "collegialisme" atau kemitraan kerja yang sejajar. Pemberian keamanan, kemudahan, kelancaran dalam melakukan aktivitas ekonomi dalam pola-pola hubungan jual-beli di atara nelayan, juragan, dan bakul ikan merupakan dasar pokok dari setiap kepemimpinan ekonomi yang dijalankan. Pola demikian tampaknya erat berkaitan dengan faktor-faktor penggerak ekonomi dan uang yang pada umumnya tidak berada di tangan ketiga
pelaku ekonomi di atas, di samping disebabkan oleh kemampuan masyarakat nelayan setempat di dalam mendapatkan dan memanfaatkan sumber-sumber keuangan yang jumlahnya tidaklah terlalu besar.
     Munculnya pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul dan tengkulak ikan) dalam relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi "cliennya", tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan "patron-clien" yang cenderung melahirkan "ketergantungan ekonomis" bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena alasan-alasan ekonomis semat (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar pada sikap dan pemikiran sosial-budaya masyarakat nelayan tradisional desa selatbaru.
Lembaga-lembaga "Kuasi" Investasi Tradisional: Arisan (julo-julo), Hutang, dan Titip Uang
    Dalam seluruh aktivitas yang berkaitan dengan "investasi" uang, arisan dan titip uang merupakan gejala umum yang dipraktikkan hampir oleh setiap penduduk nelayan di desa selatbaru, di samping hutang atau kredit.Di desa terdapat tidak kurang dari 10-an kelompok arisan dengan jumlah perolehan arisan bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta. Keanggotaan para nelayan dalam kelompok arisan bisa lebih dari satu. Hasil uang yang diperoleh dari hasil arisan ini mereka sertakan lagi dalam kelompok-kelompok arisan yang lain, sehingga yang bersangkutan bisa memperoleh modal untuk membuka usaha perdagangan kecil-kecilan (pedagang kelontong/kedai runcit), membuat rumah, menyelenggarakan lamaran dan pesta perkawinan, dan atau dibelikan perahu/jaring kecil untuk melanggengkan matapencaharian mereka sebagai nelayan.
    Hal ini, juga berlaku di kalangan para juragan pemilik kapal/perahu dengan jumlah omset arisan yang lebih besar (Rp.10 juta – Rp.50 juta). Oleh karena itu, sejumlah juragan kapal/perahu tidak hanya memiliki lebih dari satu armada kapal/perahu besar yang berharga ratusan juta rupiah, tetapi mereka juga mampu mengembangkan bisnis lain seperti membuka toko."Hutang" (aotang) sebagai salah satu karakteristik perekonomian desa tradisional, dalam banyak hal hampir selalu tidak menguntungkan secara ekonomis bagi si penghutang atau peminjam (kreditur). Hal ini, tampaknya kurang disadari oleh masyarakat nelayan tradisional di desa selatbaru, sehingga sampai kini pun masyarakat setempat masih banyak terlibat dalam praktik hutang dan kredit, selain menggabungkan diri ke dalam kelompok-kelompok arisan yang menjamur di desa, sebagaimana telah dibicarakan di atas. Hutang atau kredit (ngredit) yang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat, umumnya tidak dalam kerangka hubungan kerja antara nelayan dan juragan. Hutang atau permintaan kredit biasanya dilakukan oleh para nelayan kepada orang-orang kaya (oreng sogi) tetangga-tetangga mereka
sendiri yang sama sekali tidak memiliki hubungan kerja dengan dirinya, akan tetapi, pada umumnya mereka lebih sering meminjam uang kepada kepala-kepala arisan yang banyak memegang uang-uang titipan para anggotanya, dengan imbalan berupa bunga yang besarnya sekitar 5% perbulan, tergantung pada besarnya jumlah hutang/kredit.
    Dalam kasus hubungan hutang-piutang atau kredit antara nelayan dan bakul ikan, seorang nelayan hampir tidak pernah melakukan pembayaran dalam bentuk penyerahan ikan kepada bakul dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh bakul. Hutang uang tetap dibayar dengan uang, yang diberikan dari hasil penjualan ikan mereka. Kalaupun para nelayan tadi seakan terikat oleh akad jual-beli ikan dengan bakul, hal tersebut karena bakul telah memberikan "uang perangsang" dan barang-barang perangsang lain, tanpa mempengaruhi penetapan harga ikan yang dijualkan atau diserahkan kepada bakul. Dalam hal ini, tidak terjadi praktik ijon dari para bakul terhadap nelayan yang menjadi kliennya, di mana harga jual ikan dari nelayan tersebut ditetapkan sebelumnya dan di bawah harga pasar. Harga jual ikan dari bakul tetap mengikuti harga pasar, kalaupun nelayan tadi menerima uang penjualan ikannya di bawah harga jual yang secara riil diterima oleh bakul, hal tersebut lebih merupakan sebagai "komisi" atau "uang jasa" yang mereka anggap wajar atas kerjanya menjualkan ikan nelayan tersebut. Itupun, jumlahnya hanya berkisar antara Rp.5.000,00 hingga Rp.10.000,00 (ibaratnya uang rokok).
    Dengan perkataan lain, permintaan hutang atau kredit dari seorang nelayan kepada para bakul baki patronnya, lebih dimaksudkan sebagai upaya dari kedua belah pihak untuk memelihara hubungan perdagangan, sehingga keduanya sama-sama mendapatkan manfaat. Keterlibatan masyarakat nelayan setempat dalam praktik hutang-piutang atau kredit, tampaknya banyak disebabkan oleh sikap hidup mereka yang "kurang menjangkau masa depan". Bagi mereka, "apa yang diperoleh sekarang, habiskan sekarang juga, besok cari lagi" (ollena lako/ora’ pabali ka lako/ora’, lagguna nyare pole). Sikap hidup ini, juga berlaku bagi penduduk Desa Selatbaru yang bermatapencaharian sebagai petani. Berhemat, menabung atau melakukan investasi uang dan barang untuk pengembangan usaha lain maupun untuk kebutuhan masa depan, hampir-hampir tidak dimiliki oleh sebagian terbesar masyarakat, kecuali para pemilik modal dan pedagang besar. Namun demikian, sikap hidup mereka tidak dapat dikatakan sebagai sikap hidup "boros", yang lebih berkonotasi pada sikap menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, tetapi lebih dikarenakan mereka ingin menyepadankan antara "kerja" dan "hasil kerja" untuk memperoleh kepuasan diri baik secara fisik, psikologis dan "sosial" setelah mereka berjerih-payah seharian atau sehari-semalam menangkap ikan.
    Sementara itu mereka pun tidak perlu investasi untuk ikan di laut, sebagaimana layaknya mereka yang hidup dari pertanian. Hutang atau kredit yang mereka peroleh pada umumnya tidak diinvestasikan untuk menambah modal usaha tetapi untuk kebutuhan "habis pakai", seperti membangun rumah, lamaran dan pesta perkawinan, membeli peralatan rumah tangga, atau barang-barang berharga seperti perhiasan emas (kalung, gelang, cincin) terutama ketika akan menjelang lebaran untuk memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka.
    Dengan adanya "lembaga-lembaga keuangan informal" dan sistem "kuasi investasi" semacam itu, praktis keberadaan Bank, Koperasi Desa, dan semacamnya tidak banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Hal ini dikarenakan kesederhanan pemikiran ekonomi mereka dan ketidakinginan mereka berhubungan dengan hal-hal yang bersifat prosedural. Di lain pihak, "lembaga-lembaga keuangan informal" dan sistem "kuasi investasi" tersebut telah
memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara "berswasembada".
     Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang sering terjadi, Kemiskinan pada umumnya ditandai dengan derita keterbelakangan, ketertinggalan, rendahnya produktivitas, selanjutnya meningkat menjadi rendahnya pendapatan yang diterima. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu  terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di pedesaan atau daerah-daerah yang kekurangan sumber daya alam. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 75% wilayahnya berupa perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 Km dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 5.800.000 Km2. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat (Sipuk, 2004).
     Potensi perikanan nasional hingga tahun 2007 berkisar 6,4 juta ton, 70% di antaranya berasal dari perikanan tangkap (Kompas28/03/2008). Menurut Kusnadi,2008:27 menyatakan secara geografis masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-ketegori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan symbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.
     Mengacu pada berbagai kondisi laut indonesia saat ini perlu kiranya para nelayan tersebut sadar, karna lautlah satu-satunya tumpuan hidup mereka. Melihat berbagai potensi yang dimiliki oleh perairan indonesia diatas pekerjaan sebagai nelayan merupakan suatu pekerjaan yang tepat dimana indonesia adalah negara bahari dengan 75 % wilayahnya adalah lautan serta didukung dengan kondisi alam potensi hayati yang dikandung laut indonesia. Faktanya nelayan merupakan kelompok masyrakat yang masih tergolong miskin. Dengan daerah penangkapan ikan nelayan tradisional Dusun Pantai Indah Parit satu adalah perairan Selat malaka dengan luas total ±1.500 km2 yang dibagi menjadi dua yaitu paparan Pulau Bengkalis dan negara Malaysia. Dan merupakan kawasan over fishing (perairan lebih tangkap) dan strategis serta pasokan ikan yang melimpah khususnya Ikan siakap dan tenggiri yang mendominasi, yaitu ±80% dari semua total hasil tangkapan ikan nelayan tradisional. Perairan Selat malaka dan sungai besar yang ada di riau merupakan fishing ground bagi armada penangkapan ikan yang tersebar di Sumatera Timur bagian Timur, dimana Selat Malaka merupakan salah satu daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia yang mempunyai potensi sumber daya yang cukup besar dalam bidang perikanan.
     Fenomena yang terjadi adalah pada umumnya masyarakat nelayan tradisional di desa ini masih berada pada keadaan miskin bahkan ketika musim paceklik (sepi ikan) tidak jarang para nelayan harus berhutang kepada saudara dekat atau kepada tetangga dekat dan kedai runcit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dan ketika mereka tidak pinjaman atau ketika musim paceklik tiba tradisi menjual barang-barang rumah tanggapun mereka lakukan agar dapat memenuhi kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu tingkat pendidikan Nelayan Tradisional dan Keluarganya juga tergolong rendah dimana pendidikan terakhir mayoritas Nelayan Tradisional dan keluarganya hanya mampu tamat SD (sekolah Dasar).
     Berkaitan dengan uraian tersebut maka pengtinglah kiranya untuk mendiskripsikan dan menganalisis berbagai faktor penyebab kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan
tradisional di Desa Selatbaru. Hal tersebut dinilai dapat mengungkapkan kendala-kendala apa saja yang dihadapi para nelayan tradisional dalam upayanya meningkatkan kebutuhan ekonomi keluarga dan dalam upayanya memenuhi kebutuhan keluarganya.
Faktor Penyebab kemiskinan Nelayan tradisional
     Setiap keadaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mendiami suatu komunitas pastinya mempunyai asal-asul tertentu, dan kebiasaan tersebut yang pada akhirnya akan membentuk suatu keadaan yang menandai dari komunitas masyarakat tersebut dan hal ini juga terjadi dikalangan masyarakat nelayan tradisional dusun pantai indah desa Selatbaru. Potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat tinggal komunitas nelayan tradisional bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu aset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Perairan Selat malaka yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan memiliki pasokan ikan yang melimpah khususnya ikan siakap dan tenggiri yang mendominasi tangkapan nelayan yaitu ±80% dari semua total hasil tangkapan ikan nelayan pesisir pulau ini.Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan masyarakat nelayan tradisional di Desa selat baru Kecamatan Bantan tetap saja berada dalam ketidakmampuan baik secara finansial maupun operasional dan belum sejahtera.
     Didukung dengan melimpahnya potensi Sumber daya alam yang ada di Desa selat baru serta belum terdapat berbagai fasilitas pendukung seperti TPI (tempat pelelangan ikan),serta berbagai industri dari skala kecil sampai yang besar diantaranya terdapat pabrik pengalengan ikan, cold storage, penepungan ikan, minyak ikan, pemindangan, pengasianan, terasi dan petis ikan. Seharusnya, masyarakat nelayan Desa selatbaru menjadi sejahtera dengan adanya potensi kelautan serta fasilitasfasilitas penunjang yang ada di Desa Selatbaru, Selanjutnya Sharp, et,al (1996) dalam Kuncoro (2006: 120) mengatakan penyebab kemiskinan di kalangan nelayan adalah:
Pertama, Secara mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya, yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
Kedua, Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada giliranya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung dan adanya diskriminasi.
Ketiga, Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
     Dari keterangan-keterangan informan di atas dan didukung oleh teori-teori dari para ahli dapat ditarik kesimpulan mengenai Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nelayan Tradisional di dusun pantai indah desa selat baru Kecamatan bantan Kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut:
     a. Kualitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia nelayan tradisonal di Kampung Pesisir pada umumnya masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan para nelayan tradisional di desa selatbaru. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini tidak terlepas dari budaya dan lingkungan setempat. Rendahnya tingkat pendidikan buruh nelayan bukan hanya dialami oleh buruh nelayan sebagai kepala keluarga saja, namun berimbas juga pada kepada anggota keluarga. Rendahnya pendidikan kepala keluarga ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan kondisi masyarakat Desa pada waktu dulu.
Bagi masyarakat Kampung Pesisir Desa selatbaru  yang yang sejak dahulu bekerja sebagai nelayan tradisional, menurut nelayan tradisional pendidikan belum menjadi kebutuhan yang begitu penting, apalagi pada saat itu kondisi sarana dan prasarana tidak mendukung, sehingga masyarakat lebih memilih untuk bekerja. Adapun Faktor utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan yaitu karena faktor ekonomi keluarga. Selain itu, para orangtua terpaksa memanfaatkan tenaga anaknya untuk membantu perekonomian keluarga, atau paling tidak dengan demikian dapat mengurangi beban keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan rumahtangga nelayan dalam menjangkau pelayanan pendidikan sangat terbatas.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini berpengaruh juga terhadap ketrampilan, pola pikir, dan mental mereka. Pekerjaan sebagai nelayan tradisional lebih banyak mengandalkan kekuatan otot, atau tenaga, sehingga para nelayan tradisional ini mengesampingkan tingkat pendidikan mereka. Namun masalah lain akan muncul ketika para nelayan tradisional ini ingin beralih profesi yang hasilnya menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Dengan latar belakang tingkat pendidikan mereka yang rendah maka hal tersebut akan menyusahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator dari Kualitas Sumber Daya Manusia, indikator ini sangat menentukan seseorang atau sekelompok orang berstatus golongan masyarakat miskin atau bukan miskin. Dimana mereka yang berpendidikan rendah, produktivitasnya rendah. Rendahnya produktifitas akan berpengaruh pada rendahnya pendapatan. Sedangkan rendahnya tingkat pendapatan merupakan salah satu ciri dari penduduk miskin. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarso (2008:7) yang menyatakan: Nelayan khususnya nelayan tradisional, pada umumnya mereka mempunyai ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Selanjutnya menurut BPS Tahun 2009, menyebutkan kriteria pendidikan kepala rumah tangga miskin adalah tidak sekolah/ tidak tamat SD/hanya SD. Bagi nelayan pekerjaan melaut tidak memerlukan latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka beranggapan sebagai seorang nelayan tradisional sedikit banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman bukan pemikiran, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kemampuan melaut mereka. Namun persoalan yang akan muncul dari rendahnya tingkat pendidikan yang mereka peroleh ialah ketika nelayan tradisional desa Selatbaru ingin mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan tingkat pendidikan rendah yang mereka miliki atau bahkan tidak lulus SD. Maka, kondisi tersebut akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan.
    b. Kebiasaan Nelayan
Nelayan adalah suatu pekerjaan yang bergantung pada kemurahan alam, ketika alam memberikan sumberdaya nya sudah sepatutnya kita harus bersyukur dan menjaganya untuk keperluan berikutnya. Tingkat eksploitasi nelayan terhadap laut sangatlah besar. Dimana setiap hari mereka datang ke laut dengan harapan mendapat hasil tangkapan yang melimpah. Selain eksploitasi terhadap hasil lautn nelayan tradisional di Desa Selatbaru yang mayoritas penduduknya adalah bekerja nelayan. Dan Pada saat hasil tangkapan sedang tidak baik atau pada saat musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali para nelayan meminjam uang kepada juragan, pengamba’ atau saudara.
Jika nelayan tidak ada hasil tangkapan dan juga tidak memiliki uang simpanan maka sangat disesalkan sekali jika mereka harus menjual barang-barang mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya masyarakat nelayan kaya (juragan) yang melakukan gaya hidup konsumtif, dengan penghasilan diatas rata-rata nelayan tradisional mereka dapat membelanjakan apa yang mereka anggap perlu meskipun terkadang bukan berupa kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam hal ini menjadi tidak wajar ketika para nelayan tradisional dan keluarga yang pada umumnya memiliki penghasilan yang rendah juga melakukan gaya hidup para nelayan kaya (juragan) tersebut. Hal tersebut menjadi ironis karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan yang memerlukan biaya besar, tidak jarang para nelayan tradisional ini meminjam uang kepada para keluarga dekat dan terkadang mereka juga meminjam kepada rentenir.
Pinjaman kepada para rentenir ini biasanya dialokasikan oleh para nelayan untuk biaya tak terduga seperti kebutuhan untuk biaya kesehatan yang datang tiba-tiba atau bahkankecelakaan. Dan ada juga kebutuhan lain yang memaksa anggota keluarga (istri dan anak) disaat kerabat atau tetangga mempunyai hajatan seperti pernikahan, kematian dan kelahiran.
Sedangkan pinjaman kepada saudara biasanya dialokasikan oleh para nelayan tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan dapur, membayar listrik dan kebutuhan jajan. Namun adapula sebagian nelayan yang mengalokasikan uang pinjaman tersebut untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka, yaitu berupa kebiasaan minum-minuman keras ,dadu, dan bermain judi. Selain uang pinjaman, uang hasil menangkap ikan yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga digunakan untuk minum-minuman keras dan berjudi. Kebiasaan ini hampir sudah umum dilakukan oleh para nelayan yang dalam kehidupan sehari-harinya memang kurang taat beribadah.
Kebiasaan buruk ini sangat terlihat jelas pada saat acara pesta laut (pesta pantai), dan pada saat acara pernikahan atau ketika mereka sedang tidak melaut . Kebiasaankebiasaan ini menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Disisi lain nelayan tradisional di Desa Selatbaru mempunyai kebiasaan atau sosial budaya yang kurang menyenangkan, dimana mereka mempunyai pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depan, artinya setiap kali mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih maka pada saat itu pula mereka akan membelanjakan atau menghabiskannya.
Misalnya mereka membeli perhiasan, pakaian, dan sebagainya. Bahkan jiwa saling pamer cukup melekat dikalangan masyarakat di pesisir Desa Selatbaru, tetapi disisi lain masyarakat Kampung Pesisir Sangat menjungjung solidaritas dan tolong-menolong. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
c. Pekerjaan Alternatif
    Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat nelayan.khusunya pada masyarakat nelayan tradisional Desa Selatbaru karena desa tersebut mayoritas atau hampir sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan, profesi sebagai nelayan tentunya suatu tuntutan hidup yang sangat berat karena keadaan hidup mereka benar-benar menggantungkan nasibnya kepad keadaan alam. Dimana untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya para nelayan tradisional harus mempunyai kegiatan lain selain menjadi nelayan. Dimana pekerjaan alternatif atau pekerjaan sampingan sangatlah diperlukan bagi nelayan tradisional di Desa selatbaru untuk meningkatkan pendapatanya. Apalagi dengan pendapatan yang sangat kecil, bahkan tidak mencukupi untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Penghasilan seorang nelayan tradisonal tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tiap hari semakin melambung. Jika nelayan tradisional di Desa selatbaru hanya mengandalkan pendapatanya dari hasil melaut maka kehidupan mereka tidak akan berubah, oleh karena itu untuk menunjang penghasilanya perlu kiranya pekerjaan alternatif untuk menambah pendapatan serta untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Berikut data informan menurut pekerjaan alternatif yag dimiliki:
    Tabel 1. Jumlah Informan Menurut Pekerjaan Alternatif
No
Pekerjaan sampingan
Jumlah
Persentase (%)
1
Mempunyai Pekerjaan
Sampingan
2
29 %
2
Tidak Mempunyai Pekerjaan
Sampingan
5
71 %
Jumlah
7
100 %








   Sumber: Hasil Wawancara Kepada Informan.
   
    Pekerjaan Alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru ketika laut tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada hakenyataanya pekerjaan sebagai nelayan bergantung kepada kemurahan alam (laut) dalam menyediakan sumber dayanya. Pekerjaan alternatif atau pekerjaan sampingan diperlukan semua orang khususnya bagi nelayan tradisional dalam upaya meningkatkan pendapatanya.
    Faktanya tidaklah mudah bagi nelayan tradisional untuk melakukan suatu pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bila pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh pada umumnya hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Bagi Nelayan Tradisional yang hanya memiliki ijazah tamatan SD, bisa dibayangkan apa yang bisa mereka lakukan dengan ijazah tersebut di zaman sulit mencari pekerjaan seperti saat ini, malah yang sarjanapun belum tentu dapat dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak, dan bagi mereka yang berpendidikan rendah, selain menjadi buruh kasar dan bahkan bisa-bisa mereka terperangkap menjadi pengangguran.
d. Kepemilikan Modal
    Modal merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan kegiatan kenelayanan atau usaha para nelayan di Desa selatbaru, hal tersebut ditunjukan dengan masih sederhananya peralatan yang dipakai oleh nelayan tradisional di dusun pantai indah parit satu serta tidak jarang para nelayan tersebut harus meminjam kepada kerabat atau nelayan lain agar dapat membeli solar buat pergi melaut. Sebenarnya para nelayan tradisional di Desa selatbaru terkadang memiliki simpanan uang ketika mereka memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar, akan tetapi ketika mereka tidak memperoleh hasil dan terjadinya  kerusakan pada alat tangkap mereka harus menggunakan kembali uang simpanan itu. Sehingga mereka tidak bisa menabung. Hal ini juga disebabkan oleh karena sifat bisnis nelayan yang sangat tergantung pada musim dan cuaca. Selain karena tidak bisa menabung, kesulitan untuk memperoleh modal usaha juga disebabkan oleh tidak adanya akses nelayan tradisional kepada lembaga perkreditan yang ada seperti Bank Perkreditan dan Koprasi simpan Pinjam (UED-SP). Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan tradisional untuk memperoleh pinjaman modal usaha adalah sebelum mendapatkan pinjaman nelayan tradisional diwajibkan menyerahkan jaminan kepada Bank Perkreditan atau Koprasi simpan Pinjam untuk menyerahkan jaminan berupa akte tanah dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).
    Sementara jaminan tersebut tidak dimiliki oleh nelayan tradisional. Faktanya nelayan tradisional di Desa Selatbaru tidak memiliki modal untuk pengembangan usaha, sehingga mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi mengakibatkan rendahnya produktivitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima. Sejalan dengan itu sebagaimana dijelaskan pada lingkaran kemiskinan bahwa rendahnya pendapatan yang diterima berakibat pada rendahnya tabungan. Selanjutnya rendahnya tabungan berimbas kepada rendahnya investasi. Sedangkan rendahnya investasi mengakibatkan kembali terjadi kekurangan modal.    
     Sehubungan dengan itu kepemilikan tabungan merupakan salah satu kunci bagi nelayan dalam memperoleh kepemilikan modal. Sebenarnya nelayan tradisional di Desa Selatbaru terkadang memiliki simpanan uang ketika mereka memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar, akan tetapi ketika mereka tidak memperoleh hasil dan terjadinya kerusakan pada alat tangkap mereka harus menggunakan kembali uang simpanan itu. Sehingga mereka tidak bisa
menabung. Hal ini juga disebabkan oleh karena sifat bisnis nelayan yang sangat tergantung pada musim dan cuaca. Selain karena tidak bisa menabung, kesulitan untuk memperoleh modal usaha juga disebabkan oleh tidak adanya akses nelayan tradisional kepada lembaga perkreditan yang ada seperti Bank Perkreditan dan Koprasi simpan Pinjam.
    Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan tradisional untuk memperoleh pinjaman modal usaha adalah sebelum mendapatkan pinjaman nelayan tradisional diwajibkan menyerahkan jaminan kepada Bank Perkreditan atau Koprasi simpan Pinjam untuk menyerahkan jaminan berupa akte tanah dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB). Sementara jaminan tersebut tidak dimiliki oleh nelayan tradisional.
e. Teknologi Yang Digunakan
    Nelayan Tradisional Desa Selatbaru pada umumnya masih memakai teknologi penangkapan ikan yang sangat sederhana, adapun peralatan yang di pakai meliputi :
a.       perahu, perahu yang digunakan pada umumnya berbahan kayu yang berukuran
panjang 4-5  meter dan lebar 0,5-1 meter. Dengan tenaga penggeraknya memakai layar atau mesin tempel,
b. jaring, jaring digunakan untuk proses penangkapan ikan dilaut, jaring yang dipakai mereka sebut dengan jaring kurau atupun jaring halus. Dan jangkauan penangkapan ikanya pun terbatas hanya mampu berlayar di sekitaran teluk diperbatasan selat malaka. Dalam hal ini pemilihan alat tangkap ikan sangatlah berpengaruh dalam hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelaya tradisional. Kapal atau perahu sebagai tenaga penunjang juga memiliki andil besar dalam proses penangkapan ikan, dimana dengan fasilitas kapal yang canggih dan modern nelayan tradisional mampu berlayar hingga lepas pantai. Dan hasil tangkapan pun juga bervariasi.
Kapal atau perahu penangkapan ikan yang beroperasi diKecamatan Bantan (termasuk Desa Selatbaru) dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu jenis kapal motor (KM), perahu motor tempel (PMT), dan perahu tanpa motor (PTM). Seperti yang dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Th 2005-2014
Tahun
PTM
PMT
KM
Jumlah Unit
2005
± 761
± 1.306
± 334
± 1.716
2006
± 48
± 1.284
± 258
± 1.580
2007
± 48
± 1.151
± 258
± 1.457
2008
± 29
± 1.208
± 253
± 1.490
2009
± 48
± 1.098
± 319
± 1.465
2010
± 215
± 1.089
±319
± 1.623
2011
± 145
± 1.106
± 321
± 1.572
2012
± 100
± 1.009
± 321
± 1.450
2013
± 45
± 90
± 301
± 1.350
2014
± 45
± 99
± 301
± 1.120












Sumber: Ketua kelompok nelayan, 2014
    Berdasarkan jumlah armada penangkapan tersebut diatas, maka PMT (perahu motor tempel) berada pada jumlah terbanyak, hal tersebut menunjukan bahwa nelayan di kecamatan muncar pada umumnya Nelayan di Kecamatan Muncar sudah menggunakan teknologi yakni dengan menggunakan mesin tempel atau bahkan mesin mobil (kardan) dalam proses penagkapan ikan. Namun bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru bantuan tambahan motor tempel pada perahu dinilai malah membebabani mereka dalam sisi biaya operasional.
Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa penggunaan alat tambahan dinilai dapat membantu para nelayan tradisional dalam proses penangkapan ikan, namun hal tersebut juga dapat menjadi senjata makan tuan ketika laut sedang tidak bersahabat atau tidak ada hasil tangkapan. Berikut hasil wawancara terkait penggunaan bantuan mesin tempel dalam proses penengkapan ikan.



Tabel 3. Karakteristik Informan Dalam Penggunaan Bantuan Mesin Tempel Dalam Proses Penangkapan Ikan.

No
Uraian
Jumlah
Persentase (%)
1
Menggunakan Bantuan Mesin Tempel
4
57,14 %
2
Tidak Menggunakan Mesin Tempel
3
42,86 %
Jumlah
7
100 %
Sumber: Hasil Wawncara Terhadap Responden

     Hal tersebut diatas sesuai dengan Sudarso (2008: 3) Salah satu ciri dari usaha nelayan tradisional adalah teknologi penangkapan yang bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas dan perahu dilanjutkan dengan layar, dayung atau mesin ber PK kecil. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perahu yang digunakan oleh nelayan tradisional didesa Selatbaru menggunakan mesin tempel dengan kapasitas mesin 5,5 PK dan operasi penangkapanya maksimal hanya mampu sampai ke Teluk sekitar selat malaka dan pertemuan sungai besar. Menggunakan perahu bermotor sebagai alat pendukung dalam mencari ikan dilaut bukan suatu ukuran untuk mengkategaorikan nelayan tradisional sebagai nelayan modern. Akan tetapi modernisasi juga ditunjukan pada besar kecilnya motor yang digunakan, serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan.
    Selain itu, wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Tekhnologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai lepas pantai (of source), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai (in-shore). Seperti yang terjadi pada nelayan tradisonal Desa Selatbaru, meskipun perahu nelayan tradisional telah menggunakan mesin tempel, namun bila kapasitas mesin hanya 5,5 PK apalagi kondisi mesin yang sudah tua, ukuran perahu dan badan perahu yang terbuat dari kayu. Teknologi tersebut jelas tidak dapat membantu nelayan tradisional untuk memperluas jangkauan penangkapanya sampai ke lepas pantai (of source).
    Begitu juga dengan alat tangkap yang masih menggunakan jaring dan pancing dan kemampuan jelajah perahu sangat terbatas. Dari uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi yang digunakan dapat dikategorikan sebagai faktor yang sangat berpengaruh
terhadap kemiskinan nelayan tradisional di Desa Selatbaru.
f. Peran Lembaga Ekonomi
   Lembaga Ekonomi adalah faktor yang berpengaruh dan bisa menjadi salah satu kendala utama bila pasar tidak berkembang. Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan nelayan tradisional Desa Selatbaru maka upaya yang dilakukan adalah mendekatkan masyarakat dengan pasar seperti eksportir hasil perikanan dan pengepul. Keuntungan dari hubungan seperti ini yaitu nelayan mendapat jaminan pasar dan harga, serta
pembinaan terhadap nelayan tradisional terutama dalam hal kualitas barang bisa dilaksanakan, serta nelayan juga dapat mendapat bantuan modal bagi pengembangan usaha yang dihasilkan.
   Selanjutnya untuk menjalin hubungan dengan para eksportir dapat dilakukan melalui pengembangan aksi kolektif, yakni melalui pengembangan koprasi atau usaha bersama, seperti Koprasi Unit Desa (KUD). Dimana mereka yang bekerja sebagai nelayan tradisional menjadi anggota koprasi tersebut, sehingga dari kegiatan melaut dapat dijual melalui koprasi. Dalam hal ini tentunya nelayan tradisional perlu wadah atau tempat untuk menyalurkan atau memasarkan hasil tangkapanya, dan untuk mengupayakan usaha tersebut. Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut diatas, dapat memunculkan pertanyaan apakah peran Lembaga Ekonomi (KUD, KSP,UED-SP dan kelompok simpan pinjam) dalam proses penyaluran hasil tangkapan anda?
Iyar Mengungkapkan: “wong-wong kene biasane lak oleh ngono langsung di dol dewe mas, mboh kui di dol neng pabrik, opo neng pengambe’. Lak koyo’ KUD, KSP, kui gor mek ngurusi masalah utang mengutang tok mas. Lak nelayan neng pelabuhan brancah,muntai,jangkang ang mungtai iku enek pisan seng di dolne wong KUD. Lak neng  iku enek perkumpulane mas koyo koprasi nelayan ngono. Dadi lak pas oleh ngono gak dadak ngurusi ape di dol nengdi. Bedo ambi nelayan kene.”
(“orang-orang sini biasanya kalau dapat hasil tangkapan, langsung dijual sendiri mas, entah itu dijual ke pabrik atau ke penjual ikan. Kalau  KUD, KSP, itu cuman mengurus soal Hutang-piutang saja mas. Kalau nelayan di Pelabuhan brancah,muntai,jangkang itu ada perkumpulanya mas, ya seperti koprasi gitu. Jadi ketika nelayan mendapat hasil tangkapan mereka tidak perlu mengurusi masalah penjualan.”)
Dari ungkapan tersebut sekiranya perlu menampilkan Lembaga Ekonomi Dan Unit Usaha Desa yang ada di Desa Selatbaru. Berikut data yang diperoleh:
Tabel 4. Lembaga Ekonomi Dan Unit Usaha Desa di desa Selatbaru.
No
Uraian
Jumlah Unit
1
Koperasi Serba Usaha Unit Desa (KSU)
4
2
Koperasi Simpan Pinjam
0
3
Kelompok Simpan Pinjam
6
4
UED-SP
1
5
Bumdes
1







Sumber: Data Profil Desa Selatbaru tahun 2014
     Dari tabel diatas menggambarkan bahwa belum ada lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas menaungi keperluan dan menyalurkan hasil tangkapan nelayan tradisional. Fakta-fakta diatas sangatlah sesuai dengan penelitian Bengen, (2001:39). Struktur pasar yang tidak menguntungkan nelayan ini disebabkan karena informasi yang kurang mengenai harga. Sehingga harga lebih sering dimonopoli oleh toke-toke ikan dan para bakul ikan, dimana mereka membeli dengan harga murah dan menjualnya kepada eksportir dengan harga yang berlipat ganda.

Penutup
     Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aktivitas nelayan (oreng majheng), sebagai aktivitas ekonomi utama masyarakat desa pesisiran tradisional di Pulau Bengkalis seperti halnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem penangkapan ikan yang digunakan, organisasi dan pola kerjasama antar nelayan, hubungan-hubungan ekonomi dalam praktik perdagangan ikan di antara nelayan bakul tengkulak ikan, maupun keterlibatan para pelaku ekonomi lokal dalam pengembangan struktur ekonomi di tingkat lokal.
      Pola relasi kerja baik antara juraghan perahu, jraghan kepala dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan semata-mata terjadi dalam kerangka hubungan ekonomis, tetapi lebih bersifat "kolegialisme" dan "kekeluargaan", sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas "kesertaan secara sukarela"; tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut keanggotaan nelayannya dengan "cara membeli". Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
     Munculnya pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul baki dan tengkulak ikan) dalam relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi "kliennya", tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan "patron-clien" yang cenderung melahirkan "ketergantungan ekonomis" bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena alasan-alasan ekonomis semata (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar pada sikap sosial-budaya masyarakat setempat. Faktor ini pula yang akhirnya melahirkan sistem pengelolaan uang dan modal dalam "lembaga-lembaga keuangan informal"yang bersifat "kuasi investasi" seperti arisan dan titip uang.
     Sosok "nelayan tradisional", seperti juga nelayan-nelayan yang lain, kurang memiliki orientasi ke masa depan, atau hal-hal yang "jlimet" lainnya. Kesertaan mereka dalam arisan, titip uang, kredit dan hutang untuk keperluan lamaran, perhelatan perkawinan (kenduri), atau untuk membeli perangkat rumah tangga dan persiapan lebaran, selain dimaksudkan untuk memperoleh nilai ekonomis, sekaligus nilai-nilai sosial dan budaya.
     Dengan sikap hidup demikian, kerja keras adalah "tradisi". Tiada hari tanpa kerja adalah "motto" hidup keseharian masyarakat nelayan tradisional Desa selatbaru. Hal-hal di atas merupakan sejumlah karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan tradisional di desa Selatbaru, yang justru telah memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara "berswasembada".   
     Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan tradisional desa Selatbaru di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial, budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih "modern" dan "praktis", tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi. Peranan lembaga ekonomi, hal tersebut disinyalir karena belum adanya lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas menaungi keperluan, menyalurkan hasil tangkapan, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan nelayan tradisional begitu pula dengan SKPD yang ada dan membawahinya, hal ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat.
    Kepemilikan modal, merupakan salah satu faktor utama dalam pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memilki modal usaha maka mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.Tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi mengakibatkan rendahnya produktivitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan yang diterima, Pekerjaan Alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru ketika laut tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada kenyataanya pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang bergantung kepada kemurahan alam (laut) dalam menyediakan sumber dayanya. Apalagi penghasilan nelayan tradisional dari kegiatan melaut tidak bisa diandalkan, bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari tidak jarang harus meminjam kepada saudara.














Referensi

Boeke, J.H., (1983). Prakapitalisme di asia. Jakarta: Sinar Harapan.
Burger, D.H. (1980). Sejarah sosiologis-ekonomis Indonesia. Jakarta: Prajnyaparamita.
De Jonge, H. (1977). Some thought on enterpreneur in a maduranese country: Madura I.
_______ (1989b). Perkembangan ekonomi dan islamisasi di madura: de Jonge, Huub (eds).
                            Agama, kebudayaan dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
_______ (1989c). Hubungan Ketergantungan dalam Perikanan di Madura: de Jonge, Huub
                           (eds): Agama, kebudayaan dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
Dewey, A. G. (1962). Peasant marketing in Java. Glencoe, III.
Dahuri, R. Et al. 1999. Pengolahan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Pradnya Paramita.   
                                     Jakarta.
Geertz, C. (1956). Religious belief and economic behavior in a central javanese town. Some
                            preliminary considerations. Economic development and cultural change.
_______ (1963). Peddlers and Princes. Chicago.
Http//:www. Desa  Selatbaru.com//Profil Desa/2014
Koentjaraningrat. (1969). Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di
                            Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
_____________. (eds) (1983). Masyarakat Desa Indonesia. Jakarta: Yayasan BPFE-UI.
_______­­­______. (1985). Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di
                            Indonesia.
­­­­______________(eds). Ritus peralihan di Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 39/1980 pemerintah melarang penggunaan jaring
                           trawl dn purse seine karena bisa membahayakan ekosistem laut.
Kusnadi, 2002. Akar Kemiskinan Nelayan. LKIS .Yogyakarta
Kusnadi, 2003. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan.
                         Yogyakarta.
Kusnadi, 2008. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Jember
Kompas,2008 . Tajuk berita pangangkapnan ikan
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makro Ekonomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nicholson, W. 1995. Teori Ekonomi Mikro. Prinsip Dasar dan Pengembangannya.
                                  PT Radja Grafindo. Jakarta.
Nopirin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. Sosiologi Pedesaan. Jilid. 1. Yogyakarta: Gadjah Mada
                              University Press.
Sudarso. (2008).     Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisional di
                                Perkoaan Jurnal Ekonomi.FISIP. Universitas Airlangga. surabaya.
Suharto, Edi. 1972. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis
                                Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Kuntowijoyo. (1980). Social change in an agrarian society. Disertasi. New York: Columbia
                               University.
Leunissen, J. (1989). Pertanian rakyat di Madura. De Jonge, Huub (eds): Agama, kebudayaan
                           dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
Leur, J.C. van., (1967). Indonesian trade and society: Essays in asian social and economic
                           history. The Hague and Bandung.