PERPADUAN ASPEK SOSIAL-BUDAYA MELAYU DAN JAWA PADA KEHIDUPAN
EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN TRADISIONAL
(Studi kasus pada Masyarakat NelayanTradisional di Desa Selat baru,
parit satu)
Irawan fakhrudin Mahali Zikri SE.MM
(SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARIAH BENGKALIS)
Abstrak
Boeke probably not the first to fully conduct studies on dimensisosial-culture in economic activity in rural communities tradisionali refer to as "community pre-capitalist" however, Boeke least to the author that brought us that how many and which various studies on economic, status, role, and meaning traditional village almost seriously neglected, and always placed as an "object" and not as "subjects". On the other hand, although in years past, studies sociological and anthropological have devoted much attention to the sosial life -economic archipelago, but only few who can focus studied on the patterns and practices of the economy which is managed and led by " natives "with other forms of relations and economic networks that are" internal ". In general, the pressure of their studies many put on intermediary Europeans than natives itself, as studies ever done by Geertz (1963), and Burger (1980) In this context, we need to give high appreciation of the work-clasik of Van Leur ( 1967) and Schrieke (1955-1957), because the two of these studies who pioneered socio economic by trying to put out based on the meaning important people Asians (Indonesia) in activity, channel, and the network economy (trade) world.if unfortunately , these studies mostly done in the days of pre-colonial and colonial.Study-study of the most important relationships and economic networks (trade) "local and regional" basically been started by Dewey in his "Preasant Marketing in Java" (1962) and Geertz through his work "Peddlers and Princes" (1963). Both works ilmiahtersebut tries to connect the activities of traders and the general economic situation entrepreneurs with in a society that is changing and extensively out lining its association with socio-cultural context of economic event concerned.Every lack of studies on aspects of socio-cultural in aktivity economic in this traditional rural communities also occur in people ditch the village a new stream, particularly among the traditional villages in the coastal areas in Riau. Of the existing literature, these studies focus for many people's lives "of traditional fishermen in coastal regions" (traditional peasant society), as wherewith done by Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989), Touwen-Bouwsma (1989a), Smith (1989) with a focus on social and economic life. While studies DeJonge (1977), Bouvier (1987) focuses on the study of life social cultural, or a number of other studies of Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b) on the socio-political aspects in the life people Madura; as well as with regard to religious life (Islam), whether committed olehde Jonge (1989a), Kuntowijoyo (1989) and Akhmad Khusyairi (1989). Mean while research on the background of people's lives shores relatively little, it was not completely regarding the activities of the fishermen in the field of marine fisheries, where as although agriculture and gardener can be eye-main livelihood for most residents of Bengkalis islands, but marine fisheries besides having important meaning in the construction economy the local community, also used as a kind of "complementary" due to land in the islands on the island of Bengkalis and in accordance with studid Jonge (1989c), which states that in a statistical activity perekonomianmasyarakat coastal sector of marine fisheries is a sector of the economy the most important, after the agricultural sector and other research highly relevant to this study. From the studies that have been done in a number of papers as well as existing research as in other research Madura society there are about 8% of the principal livelihood as a fisherman. The amount will be greater if value with nearly equal numbers of those who make a living fishing occupation in time basis. An amount, estimated at nearly a quarter of every fishermen in Java and Madura. Other researchers, such as Munir (1985) and Djojomartono (1985) focuses on the study of traditional rites surrounding death and birth of comunity Madurese fishermen. Study de Jonge, Munir and the Djojomartono, has provided an overview evan social activities, cultural, and economic background shores life comunity Madura. De Jong Studies have shown, although, how the economic activity of society (traditional or modern) can be combain a reasons sociological and cultural, in addition to economic factors own. It has also been shown by a number of other studies of Geertz (1956; 1963), Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim (1959), Koentjaraningrat (1969, 1985), as well as Castles (1982), about a wide range of economic activity , On this basis, the authors conducted a literature and field research focused on the study tentang
UNITY MALAY SOCIO-CULTURAL ASPECTS AND JAVA IN ECONOMIC LIFE OF TRADITIONAL FISHING COMMUNITIES
(Case Study on Rural Community fishing tradisional in the Desa selat baru, parit satu)
The study was conducted in a fishing tradisiona in desa selatbaru parit satu , dusub pantai indah ,parit satu situated in the northern coastal region bordering the Malacca Strait, about 20 Km west of the town bengkalis on the island of Bengkalis or rather ± a four hour drive from the city of the new week. The study was conducted for one month with approach qualitative and literature studies.
Keyword;Unity,Melayu,Jawa cultural,Tradisional
Economic,Fhising And Fhiserman communities
Pendahuluan
Boeke mungkin
bukanlah orang pertama yang secara utuh mengadakan kajian tentang dimensi sosial-budaya
dalam aktivitas perekonomian masyarakat desa tradisional ia menyebut sebagai
"masyarakat prakapitalis" namun, Boekelah setidak-tidaknya bagi penulis
yang menyadarkan kepada kita bahwa betapa banyak serta dalamnya berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran
dan arti desa tradisional hampir-hampir sangat terabaikan, dan senantiasa
ditempatkan sebagai"obyek", bukan sebagai "subyek". Di sisi
lain, walaupun dalam tahun-tahun yang lampau, studi-studi sosiologis dan
antropologis telah banyak mencurahkan perhatian pada kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat nusantara, namun hanya sedikit sekali yang memfokuskan kajiannya
pada pola-pola dan praktek-praktek ekonomi yang dikelola dan dipimpin
oleh"penduduk pribumi" dengan bentuk-bentuk relasi dan jaringan
ekonomi yang bersifat "internal". Pada umumnya, tekanan kajian mereka
banyak diletakkan pada peranan orang-orang Eropa daripada penduduk pribumi
sendiri, sebagaimana studi yang pernah dilakukan oleh Geertz (1963), dan Burger
(1980) Dalam konteks ini, kita perlu memberikan penghargaan yang tinggi
terhadap karya-karya klasik dari Van Leur (1967) dan Schrieke (1955-1957),
karena kedua orang inilah yang mempelopori kajian-kajian sosial-ekonomi dengan
mencoba menempatkan dengan berpedoman pada arti penting orang-orang Asia
(Indonesia) dalam aktivitas,saluran,dan jaringan ekonomi (perdagangan) dunia. Hanya
sayangnya, studi-studi tersebut banyak dilakukan pada masa-masa pra-kolonial
dan kolonial. Studi-studi terpenting mengenai relasi dan jaringan ekonomi
(perdagangan) "setempat dan regional" pada dasarnya telah dimulai
oleh Dewey dalam karyanya "Preasant Marketing in Java" (1962) dan
Geertz melalui karyanya "Peddlers and Princes" (1963). Kedua karya
ilmiah tersebut mencoba menghubungkan aktivitas-aktivitas para pedagang dan
para wiraswastawan dengan keadaan ekonomi umum di dalam sebuah masyarakat yang
sedang berubah dan secara luas menguraikan keterkaitannya dengan konteks
sosial-budaya dari peristiwa ekonomi yang bersangkutan. Sangat kurangnya
studi-studi tentang aspek-aspek sosial-budaya dalam aktivitas perekonomian
dalam masyarakat desa tradisional ini pun terjadi pada masyarakat parit satu
desa sela baru, terutama di kalangan masyarakat desa tradisional di
daerah-daerah pesisir di riau. Dari kepustakaan yang ada, penelitian-penelitian
ini banyak difokuskan pada kehidupan masyarakat "nelayan tradisional di
daerah pesisir" (traditional peasant society), seperti yang telah
dilakukan oleh Kuntowijoyo (1980); Leunissen (1982; 1989),
Touwen-Bouwsma(1989a), Smith (1989) dengan fokus tentang kehidupan
sosial-ekonomi. Sementara studi de Jonge (1977), Bouvier (1987) memfokuskan
diri pada studi tentang kehidupan sosial budayanya, atau sejumlah studi lain
dari Kuntowijoyo (1980; 1993); Touwen-Bouwsma (1989b); de Jonge (1989b)
terhadap aspek sosial-politik dalam kehidupan masyarakat Madura; serta yang
berkaitan dengan kehidupan keagamaan (Islam), baik yang dilakukan oleh de Jonge
(1989a), Kuntowijoyo (1989) dan Akhmad Khusyairi (1989). Sementara itu penelitian-penelitian
pada latar kehidupan masyarakat pesisiran relatif sedikit, itu pun tidak sepenuhnya
berkenaan dengan aktivitas para nelayan di bidang perikanan laut, padahal walaupun
pertanian dan perkebunan merupakan mata-pencaharian utama bagi sebagian terbesar
penduduk Pulau Bengkalis, namun perikanan laut selain memiliki arti penting
dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, juga dijadikan semacam
"komplementer" akibat kondisi tanah di daerah kepulauan di pulau
bengkalis dan sesuai dengan studi de Jonge (1989c), yang menyatakan bahwa
secara statistikal aktivitas perekonomian masyarakat pesisir di sektor
perikanan laut merupakan sektor ekonomi terpenting ,setelah sektor pertanian
dan penelitian lainnya yang sangat relevan dengan studi ini. Dari studi yang
telah dilakukan pada sejumlah karya tulis maupun penelitian yang ada seperti
pada peneltian masyarakat madura terdapat sekitar 8% yang bermata pencaharian
pokok sebagai nelayan. Jumlah tersebut akan lebih besar bila ditambah dengan
jumlah yang hampir sama dari mereka yang menjadikan nelayan sebagai mata-pencaharian
sambilan. Suatu jumlah, yang diperkirakan hampir seperempat dari seluruh nelayan
yang ada di Jawa dan Madura. Peneliti lain, seperti Munir (1985) dan
Djojomartono (1985) memfokuskan diri pada studi tentang ritus kematian dan adat
sekitar kelahiran pada masyarakat nelayan Madura.
Studi de
Jonge, Munir dan Djojomartono tersebut, telah memberikan gambaran walaupun tidak utuh tentang berbagai aktivitas
sosial, budaya, dan ekonomi dalam latar kehidupan masyarakat pesisiran Madura.
Studi de Jong tersebut telah menunjukkan, meskipun tidak seluruhnya, betapa
aktivitas perekonomian masyarakat (tradisional ataupun modern) dapat dihubungkan
dengan alasan-alasan sosiologis dan kultural, di samping faktor-faktor ekonomi
sendiri. Hal itu juga telah ditunjukkan oleh sejumlah
studi lain dari Geertz (1956; 1963),Geertz (1981), McVey (1963), Wertheim
(1959), Koentjaraningrat (1969; 1985), serta Castles(1982), tentang berbagai
aktivitas ekonomi masyarakat.
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian literatur
dan studi lapangan yang difokuskan pada kajian tentang PERPADUAN ASPEK
SOSIAL-BUDAYA MELAYU DAN JAWA PADA KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN
TRADISIONAL
(Studi kasus pada Masyarakat NelayanTradisional di Desa
Selat baru, parit satu)
Penelitian dilakukan di sebuah desa nelayan tradisional di
Desa Selat baru, dusun pantai indah parit satuyang terletak di daerah
pesisir utara berbatasan dengan selat Malaka,
sekitar 20 Km sebelah barat kota bengkalis di pulau bengkalis atau tepatnya ± empat
jam perjalanan dari kota Pekan baru. Penelitian dilakukan selama satu bulan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan studi literatur.
Hasil dan Pebahasan
Struktur
Ekonomi "Desa Tradisional"
Dalam sebuah
"a little book" berjudul
"The Interest of the Voiceless Far
East: Introduction to Oriental Economics", yang diterbitkan di Leiden
pada tahun 1948—versi Indonesia tahun 1983, Boeke menyadarkan kepada kita bahwa
dalam berbagai kajian tentang ekonomi, kedudukan, peran, dan arti desa
tradisional hampir-hampir terabaikan, kalaupun disinggung, sejauh desa
tradisional itu mulai terlibat atau terkait dalam permasalahan perekonomian
kota.
Desa tradisional senantiasa hanya dijadikan
"obyek" atau dalam posisi tersubordinasi oleh kota, padahal, menurut
Boeke, bagi masyarakat negara berkembang (developing countries) yang berbasis
pada sektor pertanian-agraris, desa tradisional memiliki kedudukan dan telah memainkan
arti penting bagi masyarakatnya di dalam memenuhi berbagai kebutuhan ekonomis
mereka, bahkan, meskipun pada medio abad 20-an gerakan ekonomi perkotaan telah
mulai menembus tembok kehidupan ekonomi pedesaan, ternyata desa tradisional
tetap mampu mempertahankan prinsip-prinsip, pandangan-pandangan "ekonomi
pedesaan" nya atas dasar kekuatan-kekuatan internal yang dimiliki, yaitu
"ekonomi swasembada", yang oleh
Boeke diistilahkan sebagai "ekonomi
prakapitalis" (pracapitalism economy).
Atas dasar prinsip
keswasembadaan ini pulalah, ketika berbagai krisis yang melanda berbagai sektor
ekonomi perkotaan (produksi, perdagangan, perniagaan, dan lain-lain) ternyata
kehidupan perekonomian di desa tradisional seakan tidak begitu terpengaruh, dan
tetap bergerak sesuai dinamikanya sendiri. Menurut Boeke (1983), desa
tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara ekonomi
"berdaulat", "mandiri". Desa tradisional juga merupakan
sebuah "unit produksi" bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif
kalangan kelas menengah dan atas (penguasa,bangsawan, pemilik tanah/modal,
dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain merupakan
"kewajiban sosial dan ekonomis" mereka atas perlindungan dan kepemimpinan
yang diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai
bentuk pengabdian kepada penguasa alam yang Maha Kuasa.Pendek kata, setiap
aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan dicampur dengan
berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etnis dan tradisional.
Dari sisi konsumsi,
kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar "prinsip
swasembada", dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya
diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional
membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya
ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional,
kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian
semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk
memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit
oriented).
Landasan
struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip" hemat, ingat,
dan istirahat (Boeke, 1983: 22). Kehidupan sosial masyarakat desa tradisional
sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka. (de Jong, 1989), tidak seperti
struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam klasifikasi yang
jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian
pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap
"tertutup", serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka
menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam kehidupan berkelompok
atau bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur secara
organis, tunduk serta menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakatnya, alam dan
Sang Pencipta. Mereka emosional, dengan kemampuan intelektual yang
""kurang berkembang", kurang disiplin dan kurang memiliki rasa
ketepatan dan penghargaan terhadap waktu (Boeke, 1983).
Adanya
pemikiran, sikap dan tindakan di atas, erat kaitannya dengan "sistem nilai
budaya dan sikap" yang mereka anut dan patuhi serta merta sebagai
"faktor-faktor mental" (Koentjaraningrat, 1985) yang mempengaruhi
pemikiran, sikap dan tindakan mereka dalam kehidupan kesehariannya maupun dalam
hal membuat keputusan-keputusan penting lainnya. Ia merupakan suatu rangkaian
konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, sekaligus juga apa
yang dianggap remeh dan tak berharga dalam kehidupan mereka.
Realitas ini
dapat dilihat dari bagaimana pemikiran, sikap dan tindakan mereka terhadap aktivitas
ekonomi, kalaupun itu ada, sebagaimana dikatakan oleh Boeke di atas, masyarakat
desa tradisional mampu membangun dan mengembangkan struktur ekonomi secara
otonom dan swasembada, hal itu tidak lain karena didukung penuh oleh adanya
ikatan-ikatan sosial dan budaya yang asli dan organis, sistem kesukuan
tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip
produksi pertanian yang semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan
pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu
didasarkan pada motif-motif murni ekonomi yang sangat berorientasi kepada pasar
dan laba (non profit oriented). Sehubungan dengan hal itu maka pekerjaan tidak
lain dipandang sebagai "sarana pengabdian" terhadap
kewajiban-kewajiban moral, sosial, etika dan keagamaan; atau hanya sebatas
sebagai upaya manusia untuk mempertahankan hidup.
Dengan kata
lain, setiap aktivitas ekonomi, apapun bentuk dan jenisnya, ia senantiasa
dikuasai atau berada di dalam "konteks tradisi". Sebagai sebuah pengabdian
dan alat untuk mempertahankan hidup, maka bagi masyarakat desa tradisional
bekerja bukanlah suatu "kejahatan yang terpaksa dilakukan, karena itu sedapat
mungkin dijauhi dan dibatasi" (Boeke, 1983). Bagi mereka, bekerja ataupun
aktivitas ekonomi lainnya memang sebagai sesuatu yang harus diterima, tetapi ia
harus dilakukan dengan sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh kerja keras dan
sedapat mungkin tanpa bantuan orang lain, sehingga bernilai tinggi di mata
masyarakat. Bekerja keras adalah milik masyarakat desa tradisional, oleh
karenanya tidak perlu "sistem perangsang" sebagaimana dikonsepsikan
oleh Hoselitz; walaupun dengan cara dan irama kerja yang masih perlu didisiplinkan
dan diselaraskan dengan perkembangan teknologi modern, sehingga dapat memberikan
hasil yang seefektif mungkin (Koentjaraningrat, 1983; 1985).
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Nelayan Tradisional
Desa selat baru parit satu dusun pantai indah
Desa Selatbaru
adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan bantan kabupaten bengkalis
provinsi Riau indonesia. Daerah ini merupakan pusat dari pemerintahan kecamatan
bantan, desa ini terlatak disebelah utara pulau bengkalis. Desa ini terkenal
dengan ciri khasnya bibir pantai yang landai ,melebar jauh ketepi bibir laut ± 500 meter pada saat air laut surut,yakni
tepatnya di Dusun pantai indah parit satu. Desa selatbaru memiliki luas wilayah
2300 Ha, luas pemukiman ± 168 Ha, perkebunan ± 1170, hutan Mangrov ± 962 Ha.
Desa selatbaru berbatasan dengan :
Utara Berbatasan dengan Selat malaka
Selatan Berbatasan dengan desa resam lapis
Barat berbatasan dengan Desa Deluk
Timur berbatasan dengan Desa Berancah
Radius Desa selat baru kecamatan bantan kabupaten
bengkalis
Ibu kota provinsi ± 220 km
Ibu kota kabupaten ±18 km
Ibu kuta kecamatan ± 1 km
Yang lebih
mengharukan karena desa selatbaru berbatasan dengan selat malaka sehingga di
desa tersebut terdapat satu pelabuhan laut untuk penumpang international dengan
nama Bandar Sri Setia Raja. Desa Selatbaru khususnya dusun pantai Indah (Parit
Satu) merupakan sebuah potret kehidupan
desa nelayan tradisional, yang dalam menggerakkan aktivitas perekonomiannya sangat
mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit sekali yang
memiliki matapencaharian tetap. Selain itu, jumlah para nelayan ± 185 kk dan
beberapa pelaku ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola
dan mengembangkan aktivitas perekonomian mereka secara "swasembada",
yaitu bertumpu pada pemberdayaan potensi daerah dan modal yang terdapat di
lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri khas dari sebuah struktur ekonomi
desa.
Desa Selatbaru
ini terbagi menjadi 5 (lima) Dusun (kampong), yaitu: Dusun beringin, Dusun
beringin laut ,Dusun penawar laut, Dusun
Mekar indah ,Dusun Pantai indah adalah kampung-kampung yang letaknya di dekat laut/pesisiran,
sedangkan Tiga kampung lainnya (Dusun beringin, Dusun beringin Baru, dan Dusun
mekar indah ) terletak agak jauh dari pesisiran dan berada di tengah pulau yang
dikelilingi oleh sungai. Jumlah penduduk secara keseluruhan + 4.000 orang,
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak + 990 orang data pada tahun 2014.
Pusat
pemerintahan (Kantor Kepala Desa) terletak di kampung dusun beringin (di tengah
jalan poros yang menghubungkan jalan
desa yang ada di kecamatan bantan dan Desa selat baru merupakan desa yang menjadi
pusat ibu kota kecamatan ). Pada umumnya desa selat baru dibagi menjadi lima
wilayah yang memiliki potensi yang berbeda-beda dengan kondisi tanahnya
tidaklah subur semua wilayah, bahkan cenderung agak keras serta aktivitas
pertanian dapat dikatakan tidak berkembang atau tidak diusahakan oleh penduduk
setempat.
Hal ini
berbeda dengan penduduk yang berada di dusun pantai indah potensi yang ada, dalam
kondisi geologis seperti itu, matapencaharian pokok masyarakat yang berada di Dusun
Pantai indah pesisir, adalah sebagai nelayan, serta hanya sebagian kecil di
antaranya bermata pencaharian sebagai penjual bahan-bahan kebutuhan keseharian masyarakat
(Kedai runcit), pegawai negeri, dan kelompok home industri serta usaha
perkebunan. namun secara ekonomis kehidupan mereka tidak dapat dikatakan
sebagai masyarakat terbelakang dan miskin, bahkan, dari hasil penangkapan ikan
di laut itu, sebagian besar dari mereka memiliki rumah tembok, fasilitas rumah
tangga "modern dan canggih", untuk ukuran "masyarakat tradisional"
(traditional peasant societies). Seperti lazimnya pemukiman masyarakat nelayan
lain di Pulau bengkalis , rumah-rumah penduduk setempat cukup padat, berjejal,
tidak menganut pola penataan rumah seperti dalam masyarakat petani pedalaman,
serta mengesankan sebuah "pemukiman kumuh".
Pada umumnya
rumah-rumah mereka menghadap ke laut, kecuali rumah-rumah di ketiga kampung didesa
selat baru yang berada tepat di pinggir laut menghadap ke utara. Jalan-jalan di
perkampungan sangat sempit dan berkelok-kelok, sehingga apabila berpapasan
salah satu harus mengalah namun, apabila diperhatikan, sulit dibayangkan bahwa
daerah itu adalah daerah nelayan, dengan mata-pencaharian
"satu-satunya" adalah menangkap ikan di laut. Kondisi rumah-rumah
mereka yang berderet dari Timur ke Barat sepanjang 500 meter sebelah utara dan
selatan jalan lingkar yang membelah pulau ini, tidak begitu jauh berbeda dengan
rumah-rumah pemukiman orang-orang kota.
Deretan
bangunan rumah pemukiman penduduk di desa selat baru parit satu itu ibarat sebuah "kota kecil di tepi
pantai" (a little state in the coast), lengkap dengan berbagai aksesoris
peralatan rumah tangga "modern", berselang-seling dengan rumah- rumah
desa khas penduduk kampung nelayan, baik yang terbuat dari bambu,rumbia, maupun
kayu, juga berbagai perabot rumah tangga khas masyarakat nelayan. Sungguh
merupakan sebuah mozaik desa yang sangat mencengangkan. Sebagai daerah
pemukiman cukup padat, upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya,
tampaknya dapat dipenuhi sendiri dari berbagai fasilitas warung atau pertokoan
yang ada di desanya; kecuali sebagian kebutuhan sandang dan papan yang tidak terdapat
di desanya atau terdapat kekurangan, mereka membeli di kota Kabupaten (Bengkalis).
Di sisi lain,
perhatian dan tingkat partisipasi penduduk terhadap pendidikan anak-anaknya sangat
kurang. Anak-anak mereka terutama yang perempuan, pada umumnya hanya bersekolah
hingga jenjang SMP walapun yang ada yang tamat SMA, itupun tidak seluruhnya
tamat, terutama karena alasan akan "dikawinkan". Kepedulian
masyarakat setempat terhadap arti penting pendidikan bagi masa depan kehidupan
anak-anak mereka, mulai berubah sejak dasa warsa 90-an. Anak-anak mereka,
laki-laki dan atau perempuan, telah mulai ada yang disekolahkan hingga jenjang
perguruan tinggi.Walaupun dengan tingkat persentase yang tidak terlalu tinggi.
Sistem
Penangkapan Ikan di Laut
Bagi masyarakat
nelayan di Dusun pantai indah,sistem jaring (jaring lepas, jaring lingkar, dan jaring
Kurau serta memancing pada spot tempat mancing) merupakan sistem penangkapan
utama atau umum diterapkan di dalam menangkap ikan di laut, disamping sistem
pancing. Ada tiga jenis jaring yang
biasa digunakan untuk keperluan penangkapan ikan di laut, yaitu: (1) jaring
lepas (sethet); (2) jaring lingkar (sleret); dan (3) jaring kurau atau pun
jaring halus. Di antara tiga jenis sistem penangkapan ikan dengan menggunakan
sisem jaring di atas, yang hingga kini tetap bertahan dan masih banyak
digunakan oleh nelayan tradisional di desa selatbaru adalah dengan jenis jaring
lingkar (sleret), rakat, dan jaring kurau atau jaring halus; sedangkan jaring
lepas (sethet) kini hanya sebagian kecil nelayan yang menggunakannya. Hal ini,
mengingat bahwa penggunaan ketiga jenis jaring tadi secara ekonomis lebih
menguntungkan. Berbagai jenis perahu yang digunakan para nelayan desa selatbaru
untuk menangkap ikan yang ada sekarang, terdiri dari jenis yang paling besar
hingga yang terkecil, yaitu: kapal kayu,pompong dan fiber ( bantuan hibah dari
pemerintah).
Organisasi
dan Pola Relasi Kerjasama Antar-Nelayan
Kehidupan
para nelayan Desa selatbaru khususnya dudun pantai indah parit satu bukanlah
bersifat individual, tetapi berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari:
(1) juragan pemilik kapal/perahu; (2) juragan kepala perahu; (3) pekerje.
Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara
juragan perahu, juragan kepala dan pekerje, atau antar anggota nelayan sendiri,
bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara "atasan" dan
"bawahan" yang bersifat "hubungan pengabdian", tetapi lebih
bersifat "kolegialisme" dan "kekeluargaan", sekalipun terdapat
klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing.
Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan
atas "kesertaan secara sukarela", tetapi dalam kasus-kasus tertentu
bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan
"cara membeli". Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan
budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Organisasi
dan hubungan kerjasama di antara jraghan praho/kapal, jraghan kepala dan awak perahu/kapal
di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan
ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat
"kekeluargaan" juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka.
Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu (pekerje)
dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain,
secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari
keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus
menunggu habisnya satu musim, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang
mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan
diri dan keluarganya.
Longgarnya
ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal,
juragan dan awak perahu tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen
anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan
berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus
untuk seorang juragan kepala, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab dia
sebagai "pemegang komando" dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka
hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman
di bidang penangkapan ikan di laut serta luasnya hubungan dan komunikasi dengan
berbagai kelompok nelayan yang ada di daerah itu atau di luar desa selatbaru.
Sistem atau
pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara: (1) sukarela; dan (2) membeli.
Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka
bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi
anggota kelompok nelayan.
Sistem
Pembagian Hasil Ikan
Dalam kaitan
bisnis penangkapan ikan di desa selat baru, seorang pemilik perahu/kapal tidak menentukan
"target minimal" yang harus dipenuhi atau dicapai oleh para juragan
atu toke kepala atau awak kapal/perahunya berkenaan dengan hasil tangkapan
ikannya. Kendatipun demikian, banyak atau sedikitnya hasil ikan sama sekali
tidak berpengaruh terhadap sistem pembagian hasil ikan di antara juragan
kapal/perahu, juragan kepala, pekerje, serta anggota nelayan lain yang termasuk
anggota kelompok nelayan tersebut, dan/atau orang-orang lain yang terlibat dalam
proses persiapan dan pelaksanaan operasi penangkapan ikan. Berapapun hasil perolehan
ikan, sistem pembagian hasilnya tetap tidak berubah.
Dalam
masyarakat nelayan dusun pantai indah, dikenal dua sistem pembagian hasil ikan tangkapan
yang didasarkan pada "jenis perahu yang digunakan" dan "jaring
(alat penangkapan ikan) yang digunakan", yaitu apakah menggunakan jenis
kapal/perahu besar (fiber dan pakesan besar); atau jenis kapal kecil
(sampan/edher dan pompong kecil) juga apakah menggunakan alat berupa jaring
atau pancing (khusus untuk jenis kapal kecil). Untuk jenis perahu besar (Fiber),
sistem pembagian ikannya adalah 50% dari seluruh ikan hasil tangkapan adalah bagian
pemilik perahu, sedangkan 50% sisanya untuk seluruh awak perahu. Namun, sejalan
dengan semakin ketatnya persaingan di antara para juragan pemilik perahu,
dewasa ini pemilik perahu hanya mendapat sekitar 1/3 bagian (atau 35%);
sedangkan sekitar 2/3 (65%) bagian lainnya dibagi menjadi 20 bagian untuk
seluruh awak kapal/perahu.
Apabila
diperhatikan, dalam sistem pembagian ikan hasil tangkapan di atas, tampaknya juragan
pemilik perahu umumnya tetap mendapatkan pembagian hasil ikan rata-rata lebih tinggi
dari para awak kapal. Seperti pada sistem pembagian ikan pada jenis kapal
sleret di atas, besarnya jumlah penerimaan dari seorang juragan pemilik perahu
kecil dan sampan (edher) tersebut, memang sebanding dengan investasi yang telah
dia keluarkan untuk pengadaan perahu, jaring, dan mesin. Selain itu, karena
dalam hal terjadi kecelakaan atau kerusakan pada perahu, jaring, dan mesin,
maka seluruh biaya perawatan, perbaikan atau bahkan penggantiannya yang baru
sepenuhnya menjadi tanggungan dan atas modal dari juragan pemilik perahu
tersebut. Hal ini berbeda pada kapal besar jenis sleret dan pakesan besar yang
seluruh biaya perawatan, perbaikan dan/atau penggantian yang baru diambilkan dari
uang perbaikan/perawatan yaitu sebesar 5% - 10% (sistem pembagian lama), atau
sebesar 2.14% (sistem pembagian baru).
Sementara itu,
untuk jenis perahu kecil terbagi lagi menjadi dua sistem. Apabila menggunakan jaring
sethet, maka sistem pembagiannya adalah 4-5 bagian
untuk juragan pemilik perahu, sedangkan awak perahu masing-masing mendapatkan 1
bagian (jumlah awak perahu antara 4-6 orang), tokang nampo dan tokang jagha’an
mendapatkan masing-masing ½ bagian, tokang koras (harfiah: "tukang
menguras" air di dalam perahu di tengah laut ketika sedang melaut) tidak
mendapatkan bagian tersendiri, tetapi memperoleh bagian dari hasil pemberian sekadarnya
(sakadharra) atau atas dasar kerelaan dari para nelayan. Namun, apabila menggunakan
jaring gondrong pembagiannya adalah: (1) juragan pemilik perahu antara 10% - 40%,
tetapi oleh karena dia juga dapat merangkap sebagai tukang nampo, maka selain mendapatkan
bagian yang telah ditetapkan di atas, juga masih memperoleh tambahan bagian lagi
antara 5% - 20%, sehingga secara keseluruhan mendapatkan perolehan sebanyak 15%
- 60%; (2) awak perahu mendapatkan bagian yang bervariasi, tergantung apakah
jaringnya memperoleh hasil banyak, sedikit atau tidak. Namun, secara umum
mereka dapat memperoleh total bagian bersih sebanyak 85% dari jumlah udang
hasil pancingan mereka; (3) tokang nampo mendapatkan bagian yang diberikan oleh
masing-masing anggota nelayan sebanyak 5%. Karena seluruh anggota nelayan
berjumlah 1-4 orang, maka total bersih penerimaannya sebanyak 5% - 20%.
Pola
Relasi dan Jaringan Penjualan Ikan
Transaksi
jual-beli ikan/udang nelayan di desa Selatbaru pada umumnya dilakukan di darat seperti
dalam masyarakat nelayan di Pulau lainnya, tetapi kadang-kadang juga dilakukan
di tengah laut. Aktivitas jual-beli tersebut terjadi antara (1) nelayan,
juragan perahu,juragan kepala; (2) bakul ikan dijual ke konsumen (bakol); (3) dijual
melalui pengecer. Jenis ikan yang ada seperti: tongkol/cakalang ± 48 ton/th,
hiu ±12 ton /th, kakap ± 8 ton /th, tenggiri ± 49 ton /th, pari ± 2 ton /th ,balanak ± 3 ton /th, cumi ± 2 ton /th,sarden ± 4 ton /th,bawal ± 2 ton /th, kembung ± 4 ton /th, karapu/sunuk ± 3 ton /th,bandeng ± 3 ton /th,kerang ± 4 ton /th ,kepiting ±1ton /th, lele ± 5 ton /th, patin laut ±0,5 ton /th Jadi dalam perkiraan
pertahun total nilai produksi ± Rp
753.500.000/th, dengan total nilai biaya bahan baku yang digunakan ± Rp. 210.000.000 /th ditambah total nilai
bahan penolong yang digunakan ±Rp
3.400.000/th dan total nilai biaya yang habis
±Rp 2.450.000 /th jadi nilai yang didapat diperkirakan sebesar ±537.650.000 /th.
Dalam
aktivitas jual-beli tersebut, hasil ikan bagian masing-masing awak kapal dan juragan
kepala, ada yang sebagian langsung dijual atau diserahkan kepada para bakul
ikan yang datang ke tengah laut dengan menggunakan perahu, ada pula yang dibawa
ke darat untuk dijual atau diserahkan kepada para bakul ikan yang ada di darat.
Dalam banyak kasus di lapangan, hubungan jual-beli ikan antara para nelayan dan
juragan kepala di satu pihak dengan para bakul ikan di lain pihak sering
bersifat "mengikat", daripada atas dasar "sukarela". Hal
ini terjadi, karena para nelayan dan juragan kepala tersebut secara rutin dan
berkesinambungan mendapatkan "uang pengikat" dari para bakul ikan.
Uang tersebut merupakan "uang muka" (pesse panjher) dari bakul ikan
kepada para nelayan dan juragan kepala dari hasil penjualan ikan yang
diterimakan kepada bakul ikan.
Pemberian uang
tersebut tujuannya tidak lain adalah agar para nelayan dan juragan kepala
tadi menyerahkan atau menjual ikan kepada si bakul ikan.
Menjadi "kewajiban" atau "keharusan" bagi para nelayan dan
juragan kepala penerima uang tadi untuk menjual atau menyerahkan sebagian atau
seluruh ikan-ikan yang menjadi bagiannya—sesuai dengan kesepakat-an—kepada
bakul yang telah memberinya uang. Kebiasaan memberikan uang perangsang ini,
dalam banyak hal telah menjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Relasi dan
praktik jual-beli yang demikian ini telah menjadi pola umum dalam hampir setiap
relasi dan jaringan perdagangan ikan yang berlaku di kalangan nelayan
tradisional di dusun pantai indah desa selat baru Pola jual-beli ikan dengan
sistem "uang pengikat" (pesse panjher) tersebut memang tidak selalu
merugikan pihak nelayan dan juragan kepala, walaupun sebenarnya uang yang dibayarkan—saat
itu juga atau kemudian—oleh para bakul kepada mereka tidak pernah sama, bahkan
lebih rendah dari harga jual riil ikan seandainya dijual langsung di pasar
lokal. Artinya, para nelayan atau juragan kepala tersebut akan menerima uang
hasil pembelian ikan dari bakul ‘senantiasa kurang’ dari harga jual ikan di
pasaran. Sistem pemberian hasil penjualan "dibawah harga" tersebut
berlaku umum atau sama untuk seluruh bakul. Dalam hal ini, tidak ada permainan
harga jual antara bakul yang satu dengan bakul yang lain; sehingga jumlah uang yang
diterima oleh para nelayan dan juragan kepala dari para bakul siapapun dia
setiap orang adalah setara, tidak ada perbedaan.
Bagi bakul ikan
sendiri, dengan adanya uang pengikat ini, selain dia dapat menjual harga sesuai
dengan keadaan pasar dan jenis ikan yang dijual, dari hasil penjualan ikannya
itu dia juga masih mendapatkan keuntungan, yang diperoleh dari selisih antara
uang yang diberikan kepada para nelayan dan juragan kepala rekanannya dengan
uang yang sebenarnya diperoleh dari hasil penjualan ikan tadi.
Kecenderungan
para nelayan dan juragan kepala untuk menjual ikan kepada bakul yang
telah" mengikatnya dengan uang pengikat tadi, adalah lebih disebabkan pada
pertimbangan kecepatan dan kemudahan menjual ikan serta memperoleh uang, atau
hal-hal praktis lainnya daripada semata-mata pertimbangan bisnis-ekonomi yang
berorientasi pada mencari untung sebesar-besarnya, sebab bagi para nelayan dan
juragan kepala ada risiko yang akan diterima, apabila mereka menjual langsung
ikan-ikan tersebut di pasar jalanan (pasar di pinggir jalan),
yaitu ada kemungkinan tidak laku, harga jual rendah/murah
dan atau apabila mereka bawa ke
pasar di luar daerah mereka sendiri, misalnya ke pasar
kota Pamekasan, selain masih harus mengeluarkan uang tambahan untuk
transportasi juga belum dapat dipastikan dapat segera laku dengan cepat atau
berharga tinggi. Bahkan, apabila ikan yang dijual sendiri tadi tidak laku, maka
ikan-ikan tersebut harus dikeringka, yang tentunya harga jualnya akan lebih
murah dibandingkan apabila dijual dalam bentuk "ikan basah", di samping
perlu uang ekstra untuk biaya pengeringan, serta tenaga. Hal lain yang menjadi
daya tarik dari para nelayan dan juragan kepala melakukan praktik bisnis
semacam itu, adalah karena mereka akan mendapatkan fasilitas tambahan dari para
bakul ikan, yaitu kemudahan untuk mendapatkan hutang (otang) atau pinjaman uang
dari para bakul rekanannya; apakah untuk keperluan modal usaha rumah tangga (Runcit,
dll) atau pun untuk keperluan keluarga yang lain, yang bagi mereka mungkin
tidaklah mudah diperoleh dari orang lain, selain itu bunganya pun tidaklah terlalu
tinggi (maksimal ± 3% perbulan).
Para nelayan
itu pun secara rutin masih mendapatkan barangbarang lain seperti rokok (ketika
dia istirahat, atau tidak melaut), atau ketika menjelang lebaran mereka kembali
mendapatkan "sesuatu" dari para bakul rekanan bisnisnya seperti: pakaian,
kopiah, sarung, sandal atau barang-barang kebutuhan lebaran lain untuk keluarga
mereka. Praktik jual-beli di atas, senantiasa dipelihara dan semakin diperkuat;
dan dalam hal-hal demikian itu telah menimbulkan hubungan jual-beli yang
bersifat "patron-client" (hubungan pelindung-klien) di antara mereka,
walaupun hal tersebut tidak dapat dikatakan bahwa pola relasi tersebut hanya
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, walaupun bukan merupakan
gejala umum seperti halnya hubungan jual-beli antara nelayan dan bakul seperti
di atas, pola jual-beli ikan dengan sistem "uang pengikat" juga
terjadi antara para tengkulak ikan yang memberikan uang perangsang dengan para
bakul ikan, tetapi pada umumnya di antara mereka terdapat hubungan jual-beli
yang relatif bebas sehingga setiap tengkulak dapat menguhungi setiap bakul
untuk mendapatkan berbagai jenis ikan yang dibutuhkan atau diminati oleh para
pembeli di pasar asal mereka sementara para bakul ikan itu dapat pula secara
bebas menjual ikan-ikannya kepada setiap tengkulak sesuai dengan harga pasaran
atau harga yang lebih tinggi dari harga penawaran tengkulak yang lain.
Selain
sebab-sebab di atas, terjadinya praktik jual-beli ikan dengan sistem "uang
pengikat"
juga disebabkan oleh kurang berfungsinya dan belum adanya
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang ada, padahal pembangunan TPI tersebut pada
awalnya merupakan inisiatif pemerintah—dalam hal ini Dinas Perikanan—untuk
memudahkan dan memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi para
nelayan, juragan kepala, dan juragan perahu..
Kepemimpinan
Ekonomi dan Pengembangan Struktur Ekonomi Lokal
Berbeda dengan
relasi jaringan perdagangan komoditas lokal di daerah lain seperti karet, sawit,
atau ikan teri (bilis),blacan, dan nener (bibit ikan bandeng) yang pada umumnya
melibatkan para pelaku ekonomi berskala besar dan lintaslokal, pengembangan
ekonomi lokal desa, sebagaimana umumnya struktur ekonomi desa, dibangun dan
didukung oleh pola-pola kepemimpinan ekonomi yang juga bersifat "lokal",
serta "pemupukan modal" yang sebenarnya bukan sebagai bentuk
investasi dalam pengertian teori ekonomi.
Kepemilikan
modal dalam perdagangan ikan di desa ini tidak terlalu besar, bahkan tidak
sedikit dari para bakul baki yang berperan sebagai "pedagang pemasok dan
perantara" dalam aktivitas penjualan ikan hasil tangkapan nelayan kepada
para tengkulak ikan hanya atas dasar prinsip "kepercayaan" (saleng
parcaye), yaitu pada kemampuan atau keahlian mereka untuk meyakinkan para
pemilik ikan agar menyerahkan atau menjual ikan kepada dirinya. Selain itu, dalam
aktivitas perdagangan ikan di desa juga terdapat sejumlah pedagang besar dari
luar yang disebut tauke yaitu pelanggan tetap bermodal besar, memiliki gudang atau
pabrik pengolahan ikan, serta memiliki jaringan perdagangan di tingkat regional
atau ekpor, akan tetapi sekarang ini mereka sudah tidak diperkenankan lagi
untuk memborong ikan-ikan hasil tangkapan nelayan setempat. Hal ini,
dimaksudkan selain agar tidak terjadi spekulasi harga jual-beli ikan yang
dianggap dapat merugikan nelayan, juga agar keuntungan tetap berada di pihak
masyarakat desa itu sendiri. Untuk mencapai maksud itu, maka ikan-ikan tersebut
diborong (ebhurung) oleh Kepala Desa, dan dari tangan Kepala Desa inilah para
pedagang lokal (bakul) serta para tengkulak ikan yang berasal dari luar desa membeli
ikan sesuai dengan harga yang berlaku di pasar lokal. Dengan demikian, para
pelaku ekonomi utama dalam aktivitas perdagangan ikan di desa tetap berada di
tangan masyarakat setempat, yaitu juragan pemilik perahu, para bakul baki, dan
tengkulak.
Juragan pemilik
perahu/kapal merupakan pelaku terpenting dalam aktivitas perekonomian desa
dalam masyarakat nelayan pesisir pulau. Keberadaan kepemilikan kapal/perahu
serta modal yang dimiliki merupakan penggerak utama dalam aktivitas penangkapan
ikan dan perdagangan. Dengan jumlah armada kapal perahu yang dimiliki (antara
1-4 buah), seorang juragan pemilik perahu mampu mempekerjakan nelayan antara 20
– 25 orang untuk satu kapal fiber, antara 14 – 18 orang untuk perahu jenis pompong besar, dan antara 4-6 orang untuk perahu
kecil jenis pakesan kecil dan sampan (edher). Secara fungsional, para juragan
pemilik kapal/perahu ini telah mampu mengoptimalkan keberadaan sumber daya
manusia setempat, dengan merekrut penduduk setempat antara 4-25 orang untuk
tiga unit kapal/perahu sebagai tenaga-tenaga kerja efektif. Selain itu, dia
juga telah melibatkan para penduduk setempat dalam suatu aliansi ekonomis di
tingkat lokal untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di laut lokal dan
regional, sehingga secara ekonomis mereka mempunyai kesempatan memperoleh
keuntungan-keuntungan ekonomis dari hasil pembagian ikan yang menjadi haknya
bagi pemenuhan kebutuhan hidup keseharian, perumahan, dan alat-alat pemuas kebutuhan
"modern" lainnya. Sekalipun posisi seorang juragan perahu bermakna
penting bagi kehidupan seorang nelayan di desa ini, namun dia tidak memiliki
dan tidak berkehendak untuk melakukan penguasaan yang bersifat monopoli
terhadap para juragan kepala atau anggota nelayan.
Bakul baki ikan
yang menjadi "pemulung" bertindak sebagai pelaku ekonomi kedua dalam
aktivitas jual-beli ikan di tingkat lokal. Bahkan, adanya
kecenderungan masyarakat nelayan setempat untuk menyerahkan atau menjual sebagian
terbesar ikan kepada mereka, menyebabkan para bakul ikan menjadi mata rantai
terpenting dalam seluruh aktivitas perdagangan ikan di desa selatbaru. Dalam
konteks yang sifatnya lebih terbatas, kuatnya relasi bisnis antara
nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul ikan, yang dalam banyak
hal menyerupai "patron-client
relationship", telah menjadikan keberadaan dan peran para bakul baki ikan
ini sebagai "…stand guard over the
crucial junctures or synapsis of relationships which connect the local system
to the larger whole" (Wolf,
dalam de Jong, 1989). Adanya hubungan "patron-clien" dalam relasi
bisnis antara nelayan/juragan kepala dan nelayan dengan para bakul baki ikan
ini, memang memungkinkan tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam penjualan
ikan, walaupun ada risiko terhadap kemungkinan terjadinya perolehan pendapatan
yang relatif lebih rendah dari pendapatan yang mungkin bisa diperoleh apabila
mereka memperdagangkannya langsung di pasar jalanan setempat atau ke
pasar-pasar lokal di luar daerah, sebab dengan adanya bakul ikan sebagai
"patron", para nelayan/juragan kepala dan nelayan dapat menjual
ikannya serta memperoleh uang dengan cepat tanpa harus mengeluarkan biaya
tambahan lagi, kendati dengan cara itu mereka akan memperoleh harga yang
terkadang di bawah harga pasar, karena sifatnya yang sangat fluktuatif.
Tengkulak ikan
adalah pelaku ekonomi ketiga dalam aktivitas ekonomi dalam masyarakat didesa Selatbaru.
Sungguhpun para tengkulak ikan ini hampir dapat dikatakan tidak memiliki
relasi dagang secara langsung dengan juragan kepala dan
nelayan setempat, namun keberadaan dan perannya sebagai pembeli dan sekaligus
sebagai pemasar ikan setempat ke berbagai pasar lokal di luar daerah Selatbaru,
telah memungkinkan ikan-ikan hasil para nelayan setempat dikenal spesifikasinya
di seluruh daerah Pulau ini dan S.Pakning. Nama "toke’ laok" (ikan
dari selatan) yang diberikan oleh para pembeli luar terhadap ikan hasil tangkapan
nelayan desa selatbaru yang mereka temukan di sejumlah pasar lokal di luar
pulau, tidak terlepas dari peran dan arti penting seorang tengkulak dalam
matarantai perdagangan ikan dari daerah ini. Selain itu, banyaknya peminat ikan
desa selatbaru telah mampu meminimalisasi adanya surplus ikan di pasaran
setempat, sehingga sirkulasi ikan setempat menjadi lebih lancar. Hal ini,
mengakibatkan pendapatan para bakul baki ikan, termasuk pula para juragan kepala dan
nelayan, secara ekonomis menjadi lebih pasti dan berpengharapan.
Dari uraian di
atas, terlihat bahwa pola kepemimpinan ekonomi di daerah Bantan tersebut, walaupun
pada sebagiannya ada yang bersifat "patron-client
relationship", namun secara umum lebih bersifat "collegialisme" atau kemitraan kerja
yang sejajar. Pemberian keamanan, kemudahan, kelancaran dalam melakukan
aktivitas ekonomi dalam pola-pola hubungan jual-beli di atara nelayan, juragan,
dan bakul ikan merupakan dasar pokok dari setiap kepemimpinan ekonomi yang
dijalankan. Pola demikian tampaknya erat berkaitan dengan faktor-faktor
penggerak ekonomi dan uang yang pada umumnya tidak berada di tangan ketiga
pelaku ekonomi di atas, di samping disebabkan oleh
kemampuan masyarakat nelayan setempat di dalam mendapatkan dan memanfaatkan
sumber-sumber keuangan yang jumlahnya tidaklah terlalu besar.
Munculnya
pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul dan tengkulak ikan) dalam relasi perdagangan
ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi para nelayan
yang menjadi "cliennya",
tetapi di lain pihak juga telah menciptakan hubungan "patron-clien" yang cenderung melahirkan "ketergantungan
ekonomis" bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya
bukanlah karena alasan-alasan ekonomis semat (untuk mendapatkan hutang atau
kredit), tetapi lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati
hasil kerjanya, dan tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar
pada sikap dan pemikiran sosial-budaya masyarakat nelayan tradisional desa
selatbaru.
Lembaga-lembaga
"Kuasi" Investasi Tradisional: Arisan (julo-julo), Hutang, dan Titip
Uang
Dalam
seluruh aktivitas yang berkaitan dengan "investasi" uang, arisan dan
titip uang merupakan gejala umum yang dipraktikkan hampir oleh setiap penduduk
nelayan di desa selatbaru, di samping hutang atau kredit.Di desa terdapat tidak
kurang dari 10-an kelompok arisan dengan jumlah perolehan arisan bisa mencapai
jutaan bahkan puluhan juta. Keanggotaan para nelayan dalam kelompok arisan bisa
lebih dari satu. Hasil uang yang diperoleh dari hasil arisan ini mereka
sertakan lagi dalam kelompok-kelompok arisan yang lain, sehingga yang
bersangkutan bisa memperoleh modal untuk membuka usaha perdagangan
kecil-kecilan (pedagang kelontong/kedai runcit), membuat rumah,
menyelenggarakan lamaran dan pesta perkawinan, dan atau dibelikan perahu/jaring
kecil untuk melanggengkan matapencaharian mereka sebagai nelayan.
Hal
ini, juga berlaku di kalangan para juragan pemilik kapal/perahu dengan jumlah
omset arisan yang lebih besar (Rp.10 juta – Rp.50 juta). Oleh karena itu,
sejumlah juragan kapal/perahu tidak hanya memiliki lebih dari satu armada
kapal/perahu besar yang berharga ratusan juta rupiah, tetapi mereka juga mampu
mengembangkan bisnis lain seperti membuka toko."Hutang" (aotang)
sebagai salah satu karakteristik perekonomian desa tradisional, dalam banyak
hal hampir selalu tidak menguntungkan secara ekonomis bagi si penghutang atau peminjam
(kreditur). Hal ini, tampaknya kurang disadari oleh masyarakat nelayan
tradisional di desa selatbaru, sehingga sampai kini pun masyarakat setempat
masih banyak terlibat dalam praktik hutang dan kredit, selain menggabungkan
diri ke dalam kelompok-kelompok arisan yang menjamur di desa, sebagaimana telah
dibicarakan di atas. Hutang atau kredit (ngredit) yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan setempat, umumnya tidak dalam kerangka hubungan kerja antara
nelayan dan juragan. Hutang atau permintaan kredit biasanya dilakukan oleh para
nelayan kepada orang-orang kaya (oreng sogi) tetangga-tetangga mereka
sendiri yang sama sekali tidak memiliki hubungan kerja
dengan dirinya, akan tetapi, pada umumnya mereka lebih sering meminjam uang
kepada kepala-kepala arisan yang banyak memegang uang-uang titipan para
anggotanya, dengan imbalan berupa bunga yang besarnya sekitar 5% perbulan,
tergantung pada besarnya jumlah hutang/kredit.
Dalam kasus
hubungan hutang-piutang atau kredit antara nelayan dan bakul ikan, seorang nelayan
hampir tidak pernah melakukan pembayaran dalam bentuk penyerahan ikan kepada bakul
dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh bakul. Hutang uang tetap dibayar
dengan uang, yang diberikan dari hasil penjualan ikan mereka. Kalaupun para
nelayan tadi seakan terikat oleh akad jual-beli ikan dengan bakul, hal tersebut
karena bakul telah memberikan "uang perangsang" dan barang-barang
perangsang lain, tanpa mempengaruhi penetapan harga ikan yang dijualkan atau
diserahkan kepada bakul. Dalam hal ini, tidak terjadi praktik ijon dari para
bakul terhadap nelayan yang menjadi kliennya, di mana harga jual ikan dari
nelayan tersebut ditetapkan sebelumnya dan di bawah harga pasar. Harga jual ikan
dari bakul tetap mengikuti harga pasar, kalaupun nelayan tadi menerima uang
penjualan ikannya di bawah harga jual yang secara riil diterima oleh bakul, hal
tersebut lebih merupakan sebagai "komisi" atau "uang jasa"
yang mereka anggap wajar atas kerjanya menjualkan ikan nelayan tersebut.
Itupun, jumlahnya hanya berkisar antara Rp.5.000,00 hingga Rp.10.000,00
(ibaratnya uang rokok).
Dengan
perkataan lain, permintaan hutang atau kredit dari seorang nelayan kepada para
bakul baki patronnya, lebih dimaksudkan sebagai upaya dari kedua belah pihak
untuk memelihara hubungan perdagangan, sehingga keduanya sama-sama mendapatkan
manfaat. Keterlibatan masyarakat nelayan setempat dalam praktik hutang-piutang
atau kredit, tampaknya banyak disebabkan oleh sikap hidup mereka yang
"kurang menjangkau masa depan". Bagi mereka, "apa yang diperoleh
sekarang, habiskan sekarang juga, besok cari lagi" (ollena lako/ora’
pabali ka lako/ora’, lagguna nyare pole). Sikap hidup ini, juga berlaku bagi penduduk
Desa Selatbaru yang bermatapencaharian sebagai petani. Berhemat, menabung atau
melakukan investasi uang dan barang untuk pengembangan usaha lain maupun untuk
kebutuhan masa depan, hampir-hampir tidak dimiliki oleh sebagian terbesar
masyarakat, kecuali para pemilik modal dan pedagang besar. Namun demikian,
sikap hidup mereka tidak dapat dikatakan sebagai sikap hidup "boros",
yang lebih berkonotasi pada sikap menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang
tidak perlu, tetapi lebih dikarenakan mereka ingin menyepadankan antara
"kerja" dan "hasil kerja" untuk memperoleh kepuasan diri
baik secara fisik, psikologis dan "sosial" setelah mereka
berjerih-payah seharian atau sehari-semalam menangkap ikan.
Sementara
itu mereka pun tidak perlu investasi untuk ikan di laut, sebagaimana layaknya
mereka yang hidup dari pertanian. Hutang atau kredit yang mereka peroleh pada
umumnya tidak diinvestasikan untuk menambah modal usaha tetapi untuk kebutuhan
"habis pakai", seperti membangun rumah, lamaran dan pesta perkawinan,
membeli peralatan rumah tangga, atau barang-barang berharga seperti perhiasan
emas (kalung, gelang, cincin) terutama ketika akan menjelang lebaran untuk
memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka.
Dengan adanya
"lembaga-lembaga keuangan informal" dan sistem "kuasi
investasi" semacam itu, praktis keberadaan Bank, Koperasi Desa, dan
semacamnya tidak banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Hal ini
dikarenakan kesederhanan pemikiran ekonomi mereka dan ketidakinginan mereka
berhubungan dengan hal-hal yang bersifat prosedural. Di lain pihak, "lembaga-lembaga
keuangan informal" dan sistem "kuasi investasi" tersebut telah
memungkinkan struktur ekonomi di desa mereka dapat
dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan ekonomi lokal atau secara
"berswasembada".
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang
sering terjadi, Kemiskinan pada umumnya ditandai dengan derita keterbelakangan,
ketertinggalan, rendahnya produktivitas, selanjutnya meningkat menjadi
rendahnya pendapatan yang diterima. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu
biasanya di pedesaan atau daerah-daerah yang kekurangan sumber daya alam. Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan 75% wilayahnya berupa perairan laut dengan
panjang pantai mencapai 81.000 Km dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas
5.800.000 Km2. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara lain,
maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat
(Sipuk, 2004).
Potensi perikanan nasional hingga tahun
2007 berkisar 6,4 juta ton, 70% di antaranya berasal dari perikanan tangkap
(Kompas28/03/2008). Menurut Kusnadi,2008:27 menyatakan secara geografis masyarakat
nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan
pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai
suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-ketegori sosial yang membentuk
kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan symbol-simbol kebudayaan
sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.
Mengacu pada berbagai kondisi laut
indonesia saat ini perlu kiranya para nelayan tersebut sadar, karna lautlah satu-satunya
tumpuan hidup mereka. Melihat berbagai potensi yang dimiliki oleh perairan
indonesia diatas pekerjaan sebagai nelayan merupakan suatu pekerjaan yang tepat
dimana indonesia adalah negara bahari dengan 75 % wilayahnya adalah lautan
serta didukung dengan kondisi alam potensi hayati yang dikandung laut
indonesia. Faktanya nelayan merupakan kelompok masyrakat yang masih tergolong
miskin. Dengan daerah penangkapan ikan nelayan tradisional Dusun Pantai Indah
Parit satu adalah perairan Selat malaka dengan luas total ±1.500 km2 yang
dibagi menjadi dua yaitu paparan Pulau Bengkalis dan negara Malaysia. Dan
merupakan kawasan over fishing (perairan lebih tangkap) dan strategis serta
pasokan ikan yang melimpah khususnya Ikan siakap dan tenggiri yang mendominasi,
yaitu ±80% dari semua total hasil tangkapan ikan nelayan tradisional. Perairan
Selat malaka dan sungai besar yang ada di riau merupakan fishing ground bagi
armada penangkapan ikan yang tersebar di Sumatera Timur bagian Timur, dimana
Selat Malaka merupakan salah satu daerah penangkapan ikan di perairan Indonesia
yang mempunyai potensi sumber daya yang cukup besar dalam bidang perikanan.
Fenomena yang terjadi adalah pada umumnya
masyarakat nelayan tradisional di desa ini masih berada pada keadaan miskin
bahkan ketika musim paceklik (sepi ikan) tidak jarang para nelayan harus
berhutang kepada saudara dekat atau kepada tetangga dekat dan kedai runcit
untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dan ketika mereka tidak pinjaman atau
ketika musim paceklik tiba tradisi menjual barang-barang rumah tanggapun mereka
lakukan agar dapat memenuhi kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu tingkat
pendidikan Nelayan Tradisional dan Keluarganya juga tergolong rendah dimana
pendidikan terakhir mayoritas Nelayan Tradisional dan keluarganya hanya mampu
tamat SD (sekolah Dasar).
Berkaitan dengan uraian tersebut maka
pengtinglah kiranya untuk mendiskripsikan dan menganalisis berbagai faktor penyebab
kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan
tradisional di
Desa Selatbaru. Hal tersebut dinilai dapat mengungkapkan kendala-kendala apa
saja yang dihadapi para nelayan tradisional dalam upayanya meningkatkan kebutuhan
ekonomi keluarga dan dalam upayanya memenuhi kebutuhan keluarganya.
Faktor Penyebab kemiskinan Nelayan tradisional
Setiap keadaan dan kebiasaan yang
dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang mendiami suatu komunitas pastinya
mempunyai asal-asul tertentu, dan kebiasaan tersebut yang pada akhirnya akan
membentuk suatu keadaan yang menandai dari komunitas masyarakat tersebut dan
hal ini juga terjadi dikalangan masyarakat nelayan tradisional dusun pantai
indah desa Selatbaru. Potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat
tinggal komunitas nelayan tradisional bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu
aset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara
ekonomi. Perairan Selat malaka yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan
memiliki pasokan ikan yang melimpah khususnya ikan siakap dan tenggiri yang mendominasi
tangkapan nelayan yaitu ±80% dari semua total hasil tangkapan ikan nelayan pesisir
pulau ini.Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan masyarakat nelayan
tradisional di Desa selat baru Kecamatan Bantan tetap saja berada dalam ketidakmampuan
baik secara finansial maupun operasional dan belum sejahtera.
Didukung dengan melimpahnya potensi Sumber
daya alam yang ada di Desa selat baru serta belum terdapat berbagai fasilitas
pendukung seperti TPI (tempat pelelangan ikan),serta berbagai industri dari skala
kecil sampai yang besar diantaranya terdapat pabrik pengalengan ikan, cold
storage, penepungan ikan, minyak ikan, pemindangan, pengasianan, terasi dan
petis ikan. Seharusnya, masyarakat nelayan Desa selatbaru menjadi sejahtera
dengan adanya potensi kelautan serta fasilitasfasilitas penunjang yang ada di
Desa Selatbaru, Selanjutnya Sharp, et,al (1996) dalam Kuncoro
(2006: 120) mengatakan penyebab kemiskinan di kalangan nelayan adalah:
Pertama, Secara mikro,
kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya, yang menimbulkan
kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya
dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah.
Kedua, Kemiskinan
muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber
daya manusia yang rendah berarti produktifitasnya rendah, yang pada giliranya
upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya
pendidikan, nasib yang kurang beruntung dan adanya diskriminasi.
Ketiga, Kemiskinan muncul
akibat perbedaan akses dalam modal.
Dari keterangan-keterangan informan di
atas dan didukung oleh teori-teori dari para ahli dapat ditarik kesimpulan
mengenai Faktor Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nelayan Tradisional di dusun
pantai indah desa selat baru Kecamatan bantan Kabupaten Bengkalis adalah
sebagai berikut:
a. Kualitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya
manusia nelayan tradisonal di Kampung Pesisir pada umumnya masih sangat rendah.
Hal ini dapat terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan para nelayan
tradisional di desa selatbaru. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan ini tidak
terlepas dari budaya dan lingkungan setempat. Rendahnya tingkat pendidikan
buruh nelayan bukan hanya dialami oleh buruh nelayan sebagai kepala keluarga
saja, namun berimbas juga pada kepada anggota keluarga. Rendahnya pendidikan
kepala keluarga ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan kondisi masyarakat
Desa pada waktu dulu.
Bagi masyarakat
Kampung Pesisir Desa selatbaru yang yang
sejak dahulu bekerja sebagai nelayan tradisional, menurut nelayan tradisional
pendidikan belum menjadi kebutuhan yang begitu penting, apalagi pada saat itu
kondisi sarana dan prasarana tidak mendukung, sehingga masyarakat lebih memilih
untuk bekerja. Adapun Faktor utama masyarakat tidak melanjutkan pendidikan yaitu
karena faktor ekonomi keluarga. Selain itu, para orangtua terpaksa memanfaatkan
tenaga anaknya untuk membantu perekonomian keluarga, atau paling tidak dengan demikian
dapat mengurangi beban keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
rumahtangga nelayan dalam menjangkau pelayanan pendidikan sangat terbatas.
Dengan rendahnya
tingkat pendidikan nelayan ini berpengaruh juga terhadap ketrampilan, pola
pikir, dan mental mereka. Pekerjaan sebagai nelayan tradisional lebih banyak mengandalkan
kekuatan otot, atau tenaga, sehingga para nelayan tradisional ini
mengesampingkan tingkat pendidikan mereka. Namun masalah lain akan muncul
ketika para nelayan tradisional ini ingin beralih profesi yang hasilnya
menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Dengan latar belakang
tingkat pendidikan mereka yang rendah maka hal tersebut akan menyusahkan mereka
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Tingkat
pendidikan sebagai salah satu indikator dari Kualitas Sumber Daya Manusia,
indikator ini sangat menentukan seseorang atau sekelompok orang berstatus golongan
masyarakat miskin atau bukan miskin. Dimana mereka yang berpendidikan rendah,
produktivitasnya rendah. Rendahnya produktifitas akan berpengaruh pada rendahnya
pendapatan. Sedangkan rendahnya tingkat pendapatan merupakan salah satu ciri
dari penduduk miskin. Hal ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sudarso (2008:7) yang menyatakan: Nelayan khususnya nelayan tradisional, pada
umumnya mereka mempunyai ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Selanjutnya
menurut BPS Tahun 2009, menyebutkan kriteria pendidikan kepala rumah tangga
miskin adalah tidak sekolah/ tidak tamat SD/hanya SD. Bagi nelayan pekerjaan
melaut tidak memerlukan latar belakang pendidikan yang tinggi, mereka
beranggapan sebagai seorang nelayan tradisional sedikit banyak merupakan
pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman bukan
pemikiran, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi
kemampuan melaut mereka. Namun persoalan yang akan muncul dari rendahnya
tingkat pendidikan yang mereka peroleh ialah ketika nelayan tradisional desa Selatbaru
ingin mendapatkan pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan tingkat
pendidikan rendah yang mereka miliki atau bahkan tidak lulus SD. Maka, kondisi
tersebut akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan
lain selain menjadi nelayan.
b. Kebiasaan Nelayan
Nelayan adalah
suatu pekerjaan yang bergantung pada kemurahan alam, ketika alam memberikan
sumberdaya nya sudah sepatutnya kita harus bersyukur dan menjaganya untuk
keperluan berikutnya. Tingkat eksploitasi nelayan terhadap laut sangatlah
besar. Dimana setiap hari mereka datang ke laut dengan harapan mendapat hasil
tangkapan yang melimpah. Selain eksploitasi terhadap hasil lautn nelayan
tradisional di Desa Selatbaru yang mayoritas penduduknya adalah bekerja
nelayan. Dan Pada saat hasil tangkapan sedang tidak baik atau pada saat musim
paceklik, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali para nelayan
meminjam uang kepada juragan, pengamba’ atau saudara.
Jika nelayan
tidak ada hasil tangkapan dan juga tidak memiliki uang simpanan maka sangat
disesalkan sekali jika mereka harus menjual barang-barang mereka untuk kebutuhan
sehari-hari. Pada umumnya masyarakat nelayan kaya (juragan) yang
melakukan gaya hidup konsumtif, dengan penghasilan diatas rata-rata nelayan
tradisional mereka dapat membelanjakan apa yang mereka anggap perlu meskipun
terkadang bukan berupa kebutuhan pokok sehari-hari. Dalam hal ini menjadi tidak
wajar ketika para nelayan tradisional dan keluarga yang pada umumnya memiliki penghasilan
yang rendah juga melakukan gaya hidup para nelayan kaya (juragan) tersebut.
Hal tersebut menjadi ironis karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan
yang memerlukan biaya besar, tidak jarang para nelayan tradisional ini meminjam
uang kepada para keluarga dekat dan terkadang mereka juga meminjam kepada
rentenir.
Pinjaman kepada
para rentenir ini biasanya dialokasikan oleh para nelayan untuk biaya tak
terduga seperti kebutuhan untuk biaya kesehatan yang datang tiba-tiba atau
bahkankecelakaan. Dan ada juga kebutuhan lain yang memaksa anggota keluarga
(istri dan anak) disaat kerabat atau tetangga mempunyai hajatan seperti
pernikahan, kematian dan kelahiran.
Sedangkan
pinjaman kepada saudara biasanya dialokasikan oleh para nelayan tradisional
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan dapur, membayar
listrik dan kebutuhan jajan. Namun adapula sebagian nelayan yang mengalokasikan
uang pinjaman tersebut untuk memenuhi kebiasaan-kebiasaan mereka, yaitu berupa
kebiasaan minum-minuman keras ,dadu, dan bermain judi. Selain uang pinjaman,
uang hasil menangkap ikan yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari juga digunakan untuk minum-minuman keras dan berjudi.
Kebiasaan ini hampir sudah umum dilakukan oleh para nelayan yang dalam
kehidupan sehari-harinya memang kurang taat beribadah.
Kebiasaan buruk
ini sangat terlihat jelas pada saat acara pesta laut (pesta pantai), dan
pada saat acara pernikahan atau ketika mereka sedang tidak melaut .
Kebiasaankebiasaan ini menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan semakin
sulit untuk keluar dari kemiskinan. Disisi lain nelayan tradisional di Desa Selatbaru
mempunyai kebiasaan atau sosial budaya yang kurang menyenangkan, dimana mereka
mempunyai pola hidup yang kurang memperhitungkan kebutuhan masa depan, artinya
setiap kali mendapat hasil tangkapan yang melimpah atau lebih maka pada saat
itu pula mereka akan membelanjakan atau menghabiskannya.
Misalnya mereka
membeli perhiasan, pakaian, dan sebagainya. Bahkan jiwa saling pamer cukup
melekat dikalangan masyarakat di pesisir Desa Selatbaru, tetapi disisi lain
masyarakat Kampung Pesisir Sangat menjungjung solidaritas dan tolong-menolong.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut menyebabkan para nelayan terjerat hutang dan
semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan.
c. Pekerjaan Alternatif
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat
nelayan.khusunya pada masyarakat nelayan tradisional Desa Selatbaru karena desa
tersebut mayoritas atau hampir sebagian besar penduduknya bekerja sebagai
nelayan, profesi sebagai nelayan tentunya suatu tuntutan hidup yang sangat
berat karena keadaan hidup mereka benar-benar menggantungkan nasibnya kepad keadaan
alam. Dimana untuk memenuhi kebutuhan sehariharinya para nelayan tradisional
harus mempunyai kegiatan lain selain menjadi nelayan. Dimana pekerjaan
alternatif atau pekerjaan sampingan sangatlah diperlukan bagi nelayan tradisional
di Desa selatbaru untuk meningkatkan pendapatanya. Apalagi dengan pendapatan
yang sangat kecil, bahkan tidak mencukupi untuk mencukupi keperluan sehari-hari.
Penghasilan seorang nelayan tradisonal tidak bisa diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari yang tiap hari semakin melambung. Jika nelayan
tradisional di Desa selatbaru hanya mengandalkan pendapatanya dari hasil melaut
maka kehidupan mereka tidak akan berubah, oleh karena itu untuk menunjang
penghasilanya perlu kiranya pekerjaan alternatif untuk menambah pendapatan
serta untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Berikut data informan
menurut pekerjaan alternatif yag dimiliki:
Tabel 1. Jumlah Informan Menurut Pekerjaan
Alternatif
No
|
Pekerjaan
sampingan
|
Jumlah
|
Persentase (%)
|
1
|
Mempunyai
Pekerjaan
Sampingan
|
2
|
29
%
|
2
|
Tidak
Mempunyai Pekerjaan
Sampingan
|
5
|
71
%
|
Jumlah
|
7
|
100
%
|
Sumber: Hasil Wawancara Kepada Informan.
Pekerjaan Alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru
ketika laut tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada hakenyataanya
pekerjaan sebagai nelayan bergantung kepada kemurahan alam (laut) dalam
menyediakan sumber dayanya. Pekerjaan alternatif atau pekerjaan sampingan diperlukan
semua orang khususnya bagi nelayan tradisional dalam upaya meningkatkan
pendapatanya.
Faktanya tidaklah mudah bagi nelayan tradisional untuk melakukan suatu
pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bila pendidikan tertinggi yang pernah
ditempuh pada umumnya hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Bagi Nelayan Tradisional
yang hanya memiliki ijazah tamatan SD, bisa dibayangkan apa yang bisa mereka lakukan
dengan ijazah tersebut di zaman sulit mencari pekerjaan seperti saat ini, malah
yang sarjanapun belum tentu dapat dengan mudah mendapat pekerjaan yang layak,
dan bagi mereka yang berpendidikan rendah, selain menjadi buruh kasar dan bahkan
bisa-bisa mereka terperangkap menjadi pengangguran.
d. Kepemilikan Modal
Modal merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan
kegiatan kenelayanan atau usaha para nelayan di Desa selatbaru, hal tersebut
ditunjukan dengan masih sederhananya peralatan yang dipakai oleh nelayan
tradisional di dusun pantai indah parit satu serta tidak jarang para nelayan
tersebut harus meminjam kepada kerabat atau nelayan lain agar dapat membeli
solar buat pergi melaut. Sebenarnya para nelayan tradisional di Desa selatbaru
terkadang memiliki simpanan uang ketika mereka memperoleh hasil tangkapan yang
cukup besar, akan tetapi ketika mereka tidak memperoleh hasil dan terjadinya kerusakan pada alat tangkap mereka harus
menggunakan kembali uang simpanan itu. Sehingga mereka tidak bisa menabung. Hal
ini juga disebabkan oleh karena sifat bisnis nelayan yang sangat tergantung
pada musim dan cuaca. Selain karena tidak bisa menabung, kesulitan untuk memperoleh
modal usaha juga disebabkan oleh tidak adanya akses nelayan tradisional kepada
lembaga perkreditan yang ada seperti Bank Perkreditan dan Koprasi simpan Pinjam
(UED-SP). Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan tradisional untuk
memperoleh pinjaman modal usaha adalah sebelum mendapatkan pinjaman nelayan
tradisional diwajibkan menyerahkan jaminan kepada Bank Perkreditan atau Koprasi
simpan Pinjam untuk menyerahkan jaminan berupa akte tanah dan Buku Kepemilikan
Kendaraan Bermotor (BPKB).
Sementara jaminan tersebut tidak dimiliki oleh nelayan tradisional. Faktanya
nelayan tradisional di Desa Selatbaru tidak memiliki modal untuk pengembangan
usaha, sehingga mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi baik
dari segi jumlah maupun kualitasnya. Tidak dapat melakukan peningkatan hasil
produksi mengakibatkan rendahnya produktivitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat
pada rendahnya pendapatan yang diterima. Sejalan dengan itu sebagaimana
dijelaskan pada lingkaran kemiskinan bahwa rendahnya pendapatan yang diterima
berakibat pada rendahnya tabungan. Selanjutnya rendahnya tabungan berimbas
kepada rendahnya investasi. Sedangkan rendahnya investasi mengakibatkan kembali
terjadi kekurangan modal.
Sehubungan dengan itu kepemilikan tabungan merupakan salah satu kunci
bagi nelayan dalam memperoleh kepemilikan modal. Sebenarnya nelayan tradisional
di Desa Selatbaru terkadang memiliki simpanan uang ketika mereka memperoleh
hasil tangkapan yang cukup besar, akan tetapi ketika mereka tidak memperoleh
hasil dan terjadinya kerusakan pada alat tangkap mereka harus menggunakan kembali
uang simpanan itu. Sehingga mereka tidak bisa
menabung. Hal ini juga disebabkan oleh
karena sifat bisnis nelayan yang sangat tergantung pada musim dan cuaca. Selain
karena tidak bisa menabung, kesulitan untuk memperoleh modal usaha juga
disebabkan oleh tidak adanya akses nelayan tradisional kepada lembaga
perkreditan yang ada seperti Bank Perkreditan dan Koprasi simpan Pinjam.
Salah satu kendala yang dihadapi oleh nelayan tradisional untuk
memperoleh pinjaman modal usaha adalah sebelum mendapatkan pinjaman nelayan
tradisional diwajibkan menyerahkan jaminan kepada Bank Perkreditan atau Koprasi
simpan Pinjam untuk menyerahkan jaminan berupa akte tanah dan Buku Kepemilikan
Kendaraan Bermotor (BPKB). Sementara jaminan tersebut tidak dimiliki oleh nelayan
tradisional.
e. Teknologi Yang Digunakan
Nelayan Tradisional Desa Selatbaru pada umumnya masih memakai teknologi
penangkapan ikan yang sangat sederhana, adapun peralatan yang di pakai meliputi
:
a.
perahu,
perahu yang digunakan pada umumnya berbahan kayu yang berukuran
panjang
4-5 meter dan lebar 0,5-1 meter. Dengan
tenaga penggeraknya memakai layar atau mesin tempel,
b. jaring,
jaring digunakan untuk proses penangkapan ikan dilaut, jaring yang dipakai
mereka sebut dengan jaring kurau atupun jaring halus. Dan jangkauan penangkapan
ikanya pun terbatas hanya mampu berlayar di sekitaran teluk diperbatasan selat
malaka. Dalam hal ini pemilihan alat tangkap ikan sangatlah berpengaruh dalam
hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelaya tradisional. Kapal atau perahu
sebagai tenaga penunjang juga memiliki andil besar dalam proses penangkapan
ikan, dimana dengan fasilitas kapal yang canggih dan modern nelayan tradisional
mampu berlayar hingga lepas pantai. Dan hasil tangkapan pun juga bervariasi.
Kapal atau perahu penangkapan ikan yang
beroperasi diKecamatan Bantan (termasuk Desa Selatbaru) dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis, yaitu jenis kapal motor (KM), perahu motor tempel (PMT),
dan perahu tanpa motor (PTM). Seperti yang dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. Jumlah Armada Penangkapan Ikan
Th 2005-2014
Tahun
|
PTM
|
PMT
|
KM
|
Jumlah Unit
|
2005
|
± 761
|
± 1.306
|
± 334
|
± 1.716
|
2006
|
± 48
|
± 1.284
|
± 258
|
± 1.580
|
2007
|
± 48
|
± 1.151
|
± 258
|
± 1.457
|
2008
|
± 29
|
± 1.208
|
± 253
|
± 1.490
|
2009
|
± 48
|
± 1.098
|
± 319
|
± 1.465
|
2010
|
± 215
|
± 1.089
|
±319
|
± 1.623
|
2011
|
± 145
|
± 1.106
|
± 321
|
± 1.572
|
2012
|
± 100
|
± 1.009
|
± 321
|
± 1.450
|
2013
|
± 45
|
± 90
|
± 301
|
± 1.350
|
2014
|
± 45
|
± 99
|
± 301
|
± 1.120
|
Sumber: Ketua kelompok nelayan, 2014
Berdasarkan jumlah armada penangkapan
tersebut diatas, maka PMT (perahu motor tempel) berada pada jumlah terbanyak,
hal tersebut menunjukan bahwa nelayan di kecamatan muncar pada umumnya Nelayan
di Kecamatan Muncar sudah menggunakan teknologi yakni dengan menggunakan mesin
tempel atau bahkan mesin mobil (kardan) dalam proses penagkapan ikan.
Namun bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru bantuan tambahan motor tempel
pada perahu dinilai malah membebabani mereka dalam sisi biaya operasional.
Pernyataan
tersebut mengisyaratkan bahwa penggunaan alat tambahan dinilai dapat membantu
para nelayan tradisional dalam proses penangkapan ikan, namun hal tersebut juga
dapat menjadi senjata makan tuan ketika laut sedang tidak bersahabat atau tidak
ada hasil tangkapan. Berikut hasil wawancara terkait penggunaan bantuan mesin tempel
dalam proses penengkapan ikan.
Tabel 3.
Karakteristik Informan Dalam Penggunaan Bantuan Mesin Tempel Dalam Proses
Penangkapan Ikan.
No
|
Uraian
|
Jumlah
|
Persentase (%)
|
1
|
Menggunakan
Bantuan Mesin Tempel
|
4
|
57,14
%
|
2
|
Tidak
Menggunakan Mesin Tempel
|
3
|
42,86
%
|
Jumlah
|
7
|
100
%
|
Sumber: Hasil
Wawncara Terhadap Responden
Hal tersebut diatas sesuai dengan Sudarso
(2008: 3) Salah satu ciri dari usaha nelayan tradisional adalah teknologi
penangkapan yang bersifat sederhana dengan ukuran perahu yang kecil, daya
jelajah terbatas, daya muat perahu sedikit, daya jangkau alat tangkap terbatas
dan perahu dilanjutkan dengan layar, dayung atau mesin ber PK kecil. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, perahu yang digunakan oleh nelayan tradisional didesa
Selatbaru menggunakan mesin tempel dengan kapasitas mesin 5,5 PK dan operasi
penangkapanya maksimal hanya mampu sampai ke Teluk sekitar selat malaka dan
pertemuan sungai besar. Menggunakan perahu bermotor sebagai alat pendukung
dalam mencari ikan dilaut bukan suatu ukuran untuk mengkategaorikan nelayan tradisional
sebagai nelayan modern. Akan tetapi modernisasi juga ditunjukan pada besar
kecilnya motor yang digunakan, serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang
digunakan.
Selain itu, wilayah tangkap juga menentukan
ukuran modernitas suatu alat. Tekhnologi penangkapan ikan yang modern akan
cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai lepas pantai (of source),
sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan
pantai (in-shore). Seperti yang terjadi pada nelayan tradisonal Desa Selatbaru,
meskipun perahu nelayan tradisional telah menggunakan mesin tempel, namun bila
kapasitas mesin hanya 5,5 PK apalagi kondisi mesin yang sudah tua, ukuran perahu
dan badan perahu yang terbuat dari kayu. Teknologi tersebut jelas tidak dapat
membantu nelayan tradisional untuk memperluas jangkauan penangkapanya sampai ke
lepas pantai (of source).
Begitu juga dengan alat tangkap yang masih menggunakan
jaring dan pancing dan kemampuan jelajah perahu sangat terbatas. Dari
uraian-uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi yang digunakan dapat dikategorikan
sebagai faktor yang sangat berpengaruh
terhadap
kemiskinan nelayan tradisional di Desa Selatbaru.
f. Peran Lembaga
Ekonomi
Lembaga Ekonomi adalah faktor yang
berpengaruh dan bisa menjadi salah satu kendala utama bila pasar tidak berkembang.
Untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan nelayan
tradisional Desa Selatbaru maka upaya yang dilakukan adalah mendekatkan
masyarakat dengan pasar seperti eksportir hasil perikanan dan pengepul.
Keuntungan dari hubungan seperti ini yaitu nelayan mendapat jaminan pasar dan
harga, serta
pembinaan
terhadap nelayan tradisional terutama dalam hal kualitas barang bisa
dilaksanakan, serta nelayan juga dapat mendapat bantuan modal bagi pengembangan
usaha yang dihasilkan.
Selanjutnya untuk menjalin hubungan dengan
para eksportir dapat dilakukan melalui pengembangan aksi kolektif, yakni melalui
pengembangan koprasi atau usaha bersama, seperti Koprasi Unit Desa (KUD).
Dimana mereka yang bekerja sebagai nelayan tradisional menjadi anggota koprasi
tersebut, sehingga dari kegiatan melaut dapat dijual melalui koprasi. Dalam hal
ini tentunya nelayan tradisional perlu wadah atau tempat untuk menyalurkan atau
memasarkan hasil tangkapanya, dan untuk mengupayakan usaha tersebut.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut diatas, dapat memunculkan pertanyaan
apakah peran Lembaga Ekonomi (KUD, KSP,UED-SP dan kelompok simpan pinjam) dalam
proses penyaluran hasil tangkapan anda?
Iyar
Mengungkapkan: “wong-wong kene biasane lak oleh ngono langsung di dol dewe
mas, mboh kui di dol neng pabrik, opo neng pengambe’. Lak koyo’ KUD, KSP, kui
gor mek ngurusi masalah utang mengutang tok mas. Lak nelayan neng pelabuhan
brancah,muntai,jangkang ang mungtai iku enek pisan seng di dolne wong KUD. Lak
neng iku enek perkumpulane mas koyo koprasi
nelayan ngono. Dadi lak pas oleh ngono gak dadak ngurusi ape di dol nengdi. Bedo
ambi nelayan kene.”
(“orang-orang
sini biasanya kalau dapat hasil tangkapan, langsung dijual sendiri mas, entah
itu dijual ke pabrik atau ke penjual ikan. Kalau KUD, KSP, itu cuman mengurus soal
Hutang-piutang saja mas. Kalau nelayan di Pelabuhan brancah,muntai,jangkang itu
ada perkumpulanya mas, ya seperti koprasi gitu. Jadi ketika nelayan mendapat
hasil tangkapan mereka tidak perlu mengurusi masalah penjualan.”)
Dari ungkapan
tersebut sekiranya perlu menampilkan Lembaga Ekonomi Dan Unit Usaha Desa yang
ada di Desa Selatbaru. Berikut data yang diperoleh:
Tabel 4. Lembaga
Ekonomi Dan Unit Usaha Desa di desa Selatbaru.
No
|
Uraian
|
Jumlah Unit
|
1
|
Koperasi Serba Usaha Unit Desa (KSU)
|
4
|
2
|
Koperasi Simpan Pinjam
|
0
|
3
|
Kelompok Simpan Pinjam
|
6
|
4
|
UED-SP
|
1
|
5
|
Bumdes
|
1
|
Sumber: Data
Profil Desa Selatbaru tahun 2014
Dari tabel diatas menggambarkan bahwa
belum ada lembaga ekonomi atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas
menaungi keperluan dan menyalurkan hasil tangkapan nelayan tradisional. Fakta-fakta
diatas sangatlah sesuai dengan penelitian Bengen, (2001:39). Struktur pasar
yang tidak menguntungkan nelayan ini disebabkan karena informasi yang kurang mengenai
harga. Sehingga harga lebih sering dimonopoli oleh toke-toke ikan dan para
bakul ikan, dimana mereka membeli dengan harga murah dan menjualnya kepada
eksportir dengan harga yang berlipat ganda.
Penutup
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, aktivitas nelayan (oreng majheng), sebagai aktivitas
ekonomi utama masyarakat desa pesisiran tradisional di Pulau Bengkalis seperti
halnya aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara
timbal-balik dengan aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat setempat.
Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem penangkapan ikan
yang digunakan, organisasi dan pola kerjasama antar nelayan, hubungan-hubungan
ekonomi dalam praktik perdagangan ikan di antara nelayan bakul tengkulak ikan,
maupun keterlibatan para pelaku ekonomi lokal dalam pengembangan struktur
ekonomi di tingkat lokal.
Pola relasi
kerja baik antara juraghan perahu, jraghan kepala dan phandiga, atau antar
anggota nelayan sendiri, bukan semata-mata terjadi dalam kerangka hubungan
ekonomis, tetapi lebih bersifat "kolegialisme" dan
"kekeluargaan", sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai
dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar,
terbuka, suka-hati dan didasarkan atas "kesertaan secara sukarela";
tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus
merekrut keanggotaan nelayannya dengan "cara membeli". Hal ini
menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan
faktor-faktor ekonomi.
Munculnya
pelaku-pelaku ekonomi lokal (juragan, bakul baki dan tengkulak ikan) dalam
relasi perdagangan ikan, tidak saja memiliki arti penting bagi pemenuhan
kebutuhan ekonomi para nelayan yang menjadi "kliennya", tetapi di
lain pihak juga telah menciptakan hubungan "patron-clien" yang cenderung melahirkan "ketergantungan ekonomis"
bagi umumnya para nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena
alasan-alasan ekonomis semata (untuk mendapatkan hutang atau kredit), tetapi
lebih disebabkan karena para nelayan ingin segera menikmati hasil kerjanya, dan
tidak mau direpotkan dengan hal-hal yang jlimet yang berakar pada sikap
sosial-budaya masyarakat setempat. Faktor ini pula yang akhirnya melahirkan
sistem pengelolaan uang dan modal dalam "lembaga-lembaga keuangan
informal"yang bersifat "kuasi investasi" seperti arisan dan
titip uang.
Sosok
"nelayan tradisional", seperti juga nelayan-nelayan yang lain, kurang
memiliki orientasi ke masa depan, atau hal-hal yang "jlimet" lainnya.
Kesertaan mereka dalam arisan, titip uang, kredit dan hutang untuk keperluan
lamaran, perhelatan perkawinan (kenduri), atau untuk membeli perangkat rumah
tangga dan persiapan lebaran, selain dimaksudkan untuk memperoleh nilai
ekonomis, sekaligus nilai-nilai sosial dan budaya.
Dengan sikap
hidup demikian, kerja keras adalah "tradisi". Tiada hari tanpa kerja
adalah "motto" hidup keseharian masyarakat nelayan tradisional Desa selatbaru.
Hal-hal di atas merupakan sejumlah karakteristik terpenting dari masyarakat
desa nelayan tradisional di desa Selatbaru, yang justru telah memungkinkan
struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar
kemampuan ekonomi lokal atau secara "berswasembada".
Berbagai
bentuk dan pola perilaku ekonomi masyarakat nelayan tradisional desa Selatbaru
di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka untuk senantiasa dapat
mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial, budaya, sekaligus
ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih "modern" dan
"praktis", tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi. Peranan
lembaga ekonomi, hal tersebut disinyalir karena belum adanya lembaga ekonomi
atau lembaga perkumpulan nelayan yang bertugas menaungi keperluan, menyalurkan
hasil tangkapan, serta memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan nelayan tradisional
begitu pula dengan SKPD yang ada dan membawahinya, hal ini tidak sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat.
Kepemilikan modal, merupakan salah satu
faktor utama dalam pengembangan usaha, jika nelayan tradisional tidak memilki modal
usaha maka mereka tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi baik dari
segi jumlah maupun kualitasnya.Tidak dapat melakukan peningkatan hasil produksi
mengakibatkan rendahnya produktivitas nelayan tradisional dan hal ini berakibat
pada rendahnya pendapatan yang diterima, Pekerjaan
Alternatif menjadi penting bagi nelayan tradisional Desa Selatbaru ketika laut
tidak lagi menyediakan ikan untuk ditangkap, karena pada kenyataanya pekerjaan
sebagai nelayan adalah pekerjaan yang bergantung kepada kemurahan alam (laut)
dalam menyediakan sumber dayanya. Apalagi penghasilan nelayan tradisional dari
kegiatan melaut tidak bisa diandalkan, bahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
sehari-hari tidak jarang harus meminjam kepada saudara.
Referensi
Boeke, J.H., (1983). Prakapitalisme di asia.
Jakarta: Sinar Harapan.
Burger, D.H. (1980). Sejarah sosiologis-ekonomis
Indonesia. Jakarta: Prajnyaparamita.
De Jonge, H. (1977). Some thought on enterpreneur in a
maduranese country: Madura I.
_______ (1989b). Perkembangan ekonomi dan islamisasi di
madura: de Jonge, Huub (eds).
Agama, kebudayaan
dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
_______ (1989c). Hubungan Ketergantungan dalam Perikanan
di Madura: de Jonge, Huub
(eds): Agama, kebudayaan dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
Dewey, A. G. (1962). Peasant marketing in Java.
Glencoe, III.
Dahuri, R. Et al. 1999. Pengolahan
Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Pradnya Paramita.
Jakarta.
Geertz, C. (1956). Religious belief and economic
behavior in a central javanese town. Some
preliminary
considerations. Economic development and cultural change.
_______ (1963). Peddlers and Princes. Chicago.
Http//:www. Desa
Selatbaru.com//Profil Desa/2014
Koentjaraningrat. (1969). Rintangan-rintangan mental
dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
_____________. (eds) (1983). Masyarakat Desa Indonesia.
Jakarta: Yayasan BPFE-UI.
_____________. (1985). Rintangan-rintangan mental
dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia.
______________(eds). Ritus peralihan di Indonesia.
Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Keputusan Presiden (Keppres) RI
Nomor 39/1980 pemerintah melarang penggunaan jaring
trawl dn purse seine
karena bisa membahayakan ekosistem laut.
Kusnadi, 2002. Akar Kemiskinan
Nelayan. LKIS .Yogyakarta
Kusnadi, 2003. Polemik
Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan.
Yogyakarta.
Kusnadi, 2008. Keberdayaan
Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Jember
Kompas,2008 . Tajuk berita pangangkapnan ikan
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makro Ekonomi. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Nicholson, W.
1995. Teori Ekonomi Mikro. Prinsip Dasar dan Pengembangannya.
PT Radja
Grafindo. Jakarta.
Nopirin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. Sosiologi Pedesaan.
Jilid. 1. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sudarso. (2008). Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas
Nelayan Tradisional di
Perkoaan Jurnal
Ekonomi.FISIP. Universitas Airlangga. surabaya.
Suharto, Edi. 1972. Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis
Pembangunan
Kesejahteraan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.
Kuntowijoyo. (1980). Social change in an agrarian
society. Disertasi. New York: Columbia
University.
Leunissen, J. (1989). Pertanian rakyat di Madura. De
Jonge, Huub (eds): Agama, kebudayaan
dan ekonomi. Jakarta: Grafitti Press.
Leur, J.C. van., (1967). Indonesian trade and society:
Essays in asian social and economic
history. The Hague and Bandung.